Rabu, 09 Mei 2012

waqaf


Di desa kami, Simpang Wetan Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan, ada sebuah masjid kuno yang terletak di tepi jalan raya, sehingga apabila sewaktu-waktu ada pelebaran jalan, pasti masjid tersebut akan digusur. Untuk mengantisipasi hal tersebut, takmir masjid membentuk panitia pembangunan yang melakukan pemugaran total, dengan cara:
  • Separo dari masjid tersebut, yaitu bagian depan, akan dijadikan halaman dan tempat parkir, karena masjid tersebut sekarang ini tidak mempunyai halaman dan tempat parkir. Dengan demikian, halaman yang asalnya masjid tersebut kemungkinan besar akan terkena najis.
  • Separo dari masjid bagian depan yang dijadikan halaman tersebut, diganti dengan tanah tanah wakaf yang berada di belakang masjid tersebut. Kemudian masjid yang baru dibuat dua tingkat dan tingkat yang kedua berbentuk letter U, sehingga masjid masjid menjadi lebih megah dan lebih besar kapasitasnya menapung jama'ah.
  1. Bolehkah menukar tanah wakaf masjid ?
  2. Bagaimana hukum merubah fungsi tanah yang semula berupa masjid menjadi halaman masjid atau tempat parkir untuk kemaslahatan masjid tersebut?
Jawaban:
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama' sebagai berikut:
  1. Hukum menukar tanah wakaf masjid:
    1. Menurut madzhab Syafi'i tidak boleh!
    2. Menurut madzhab boleh, dengan syarat:
      • Tanah wakaf tersebut ditukar dengan yang lebih baik manfaat dan kegunaannya.
      • Manfaat dan kegunaan yang lebih baik seperti tersebut di atas harus berdasarkan putusan seluruh pengurus takmir masjid dan para ulama setempat.

    3. Menurut madzhab Hambali, jika fungsi dari bagian depan masjid yang akan dijadikan halaman atau tempat parkir tersebut tidak mungkin dapat dipertahankan keabadiannya; karena keberadaan masjid di tepi jalan itu mutlak memerlukan halamman dan tempat parkir untuk menjaga keselamatan para pengunjung masjid dari
      kecelakaan lalu lintas dan kemungkinan ada pelebaran jalan, maka hukumnya boleh.
  2. Hukum tanah yang semula berfungsi sebagai masjid, kemudian berubah menjadi halaman atau tempat parkir:
    1. Menurut madzhab Syafi'i, tanah tersebut hukumnya tetap seperti hukum masjid, sehingga tidak boleh ada wanita yang sedang haidl berada di halaman tersebut dan hukum-hukum masjid lainnya.
    2. Munurut madzhab Hanafi, setelah tanah tersebut diputuskan menjadi halaman masjid, maka hukumnya seperti halaman masjid yang lain yang tidak sama dengan hukum masjid.
    3. Menurut madzhab Hambali, setelah tanah tersebut berubah fungsinya menjadi bukan masjid, maka hukumnya juga berubah.
Dasar Pengambilan:
  1. Kitab I'aanatut Thaalibiin juz III halaman 181:

    وَلاَ يَنْقُضُ الْمَسْجِدُ اَيِ الْمُنْهَدِمُ الْمُتَقَدِّمُ ذِكْرُهُ فِى قَوْلِهِ " فَلَوِ انْهَدَمَ مَسْجِدٌ " ، وَمِثْلُ الْمُنْهَدِمِ اَلْمُتَطِّلُ . ( وَالْحَاصِلُ ) اَنَّ هذَا الْمَسْجِدَ الَّذِى انْهَدَمَ اَىْ اَوْ تَعَطَّلَ بِتَعْطِيْلِ اَهْلِ الْبَلَدِ لَهُ كَمَا مَرَّ لاَ يُنْقَضُ اَىْ لاَ يُبْطَلُ بِنَاؤُهُ بِحَيْثُ يُتَمَّمُ هَدْمُهُ فِىْ صُوْرَةِ الْمَسْجِدِ الْمُنْهَدِمِ اَوْ يُهْدَمُ مِنْ اَصْلِهِ فِى صُوْرَةِ الْمُتَعَطَّلِ ؛ بَلْ يَبْقَى عَلَى حَالِهِ مِنَ الاِنْهِدَامِ اَوْ التَّعْطِيْلِ . وَذلِكَ لإِمْكَانِ الصَّلاَةِ فِيْهِ وَهُوَ بِهذِهِ الْحَالَةِ وَلإِمْكَانِ عَوْدِهِ كَمَا كَانَ .
    "Dan tidak boleh masjid dirusak. Artinya, masjid yang roboh yang telah disebutkan sebelumnya dalam ucapan mushannif "Maka andaikata ada sebuah masjid yang roboh". Masjid yang menganggur adalah seperti masjid yang roboh. Walhasil, sesungguhnya masjid yang telah roboh ini, artinya, atau telah menganggur sebab dianggurkan oleh penduduk desa tempat masjid tersebut berada sebagaimana keterangan yang telah lalu, maka masjid tersebut tidak boleh dirusak, artinya bangunannya tidak boleh dibatalkan dengan jalan disempurnakan penghancurannya dalam bentuk masjid yang roboh, atau dihancurkan mulai dari asalnya dalam bentuk masjid yang dianggurkan. Akan tetapi hukum masjid tersebut tetap dalam keadaannya sejak roboh atau menganggur. Yang demikian itu ialah karena masih mungkin melakukan shalat di masjid tersebut dalam keadaannya yang roboh ini dan masih mungkin mengembalikan bangunannya seperti sediakala".

  2. Kitab As Syarqawi juz II halaman 178:

    وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَاِنْ خَرَبَ ، خِلاَفًا لِلْحَنَفِيَّةِ . وَصُوْرَتُهُ عِنْدَهُ اَنْ يَكُوْنَ الْمَحَلُّ قَدْ آلَ اِلَى السُّقُوْطِ فَيُبْدَلُ بِمَحَلٍّ آخَرَ اَحْسَنَ مِنْهُ بَعْدَ حُكْمِ حَاكِمٍ يَرَى صِحَّتَهُ .
    "Tidak boleh menukarkan barang wakaf menurut madzhab kami (Syafi'i), walaupun sudah rusak. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang membolehkannya. Contoh kebolehan menurut pendapat mereka adalah apabila tempat yang diwakafkan itu benar-benar hampir longsor, kemudian ditukarkan dengan tempat lain yang lebih baik dari padanya, sesudah ditetapkan oleh Hakim yang melihat kebenarannya".

  3. Kitab Raddul Mukhtar juz III halaman 512:

    اَرَادَ اَهْلُ الْمَحَلَّةِ نَقْضَ الْمَسْجِدِ وَبِنَاءَهُ اَحْكَمَ مِنَ الاَوَّلِ ، إِنِ الْبَانِى مِنْ اَهْلَ الْمَحَلَّةِ لَهُمْ ذلِكَ ، وإِلاَّ فَلاَ .
    "Penduduk suatu daerah ingin membongkar masjid dan membangunnya kembali dengan bangunan yang lebih kokoh dari yang pertama. Jika yang membangun kembali masjid tersebut adalah penduduk daerah tersebut, maka hukumnya boleh, dan jika tidak maka hukumnya tidak boleh".

  4. Kitab Syarhul Kabir juz III halaman 420:

    فَاِنْ تَعَطَّلَتْ مَنَافِعُهُ بِالْكُلِّيَّةِ كَدَارٍ اِنْهَدَمَتْ اَوْ اَرْضٍ خَرَبَتْ وَعَادَتْ مَوَاتًا لَمْ يُمْكِنْ عِمَارَتُهَا اَوْ مَسْجِدٍ اِنْتَقَلَ اَهْلُ الْقَرْيَةِ عَنْهُ وَصَارَ فِى مَوْضِعٍ لاَ يُصَلَّى فِيْهِ اَوْ ضَاقَ بِاَهْلِهِ وَلَمْ يُمْكِنْ تَوْسِيْعُهُ فِى مَوْضِعِهِ ، فَاِنْ اَمْكَنَ بَيْعُ بَعْضِهِ لِيُعَمَّرَ بَقِيَّتُهُ جَازَ بَيْعُ الْبَعْضِ وَاِنْ لَمْ يُمْكِنِ الإِنْتِفَاعُ بِشَيْءٍ مِنْهُ بِيْعَ جَمِيْعُهُ .
    "Jika manfaat dari wakat tersebut secara keseluruhan sudah tidak ada, seperti rumah yang telah roboh atau tanah yang telah rusak dan kembali menjadi tanah yang mati yang tidak mungkin memakmurkannya lagi, atau masjid yang penduduk desa dari masjid tersebut telah pindah; dan masjid tersebut menjadi masjid di tempat yang tidak dipergunakan untuk melakukan shalat, atau masjid tersebut sempit dan tidak dapat menapung para jama'ah dan tidak mungkin memperluasnya di tempat tersebut, ... jika mungkin menjual sebahagiannya untuk memakmurkan sisanya, maka boleh menjual sebahagian. Dan jika tidak mungkin memanfaatkannya sedikitpun, maka boleh menjual seluruhnya".


0 komentar:

Posting Komentar

 

jancok © 2008. Design By: SkinCorner