KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulil lah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangka t aturan-Nya , karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya , sehingga penulis dapat menyelesai kan Elektronik Book (E-BOOK) ini dengan judul “DALIL AMALAN WARGA NAHDLIYIN (NU)’ ini dapat terselesai kan tidak kurang dari pada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan E-BOOK ini tidak lain sebagai informasi dan “meluruska n” dari tuduhan golongan yang tidak sepaham dengan amalan-ama lan warga nahdliyin, sehingga mudahnya mereka mengatakan banyak amalan warga NU berbau Tahayul, Bid’ah dan Churafat (TBC) .Sebenarny a penulis pun tidak mempermasa lahkan sebuah perbedaan pendapat namun penulis sangat merasa prihatin sebagai warga nahdliyin ketika orang-oran g dari golongan lain mempermasa lahkan amalan-ama lan yang juga merupakan amalan yang penulis lakukan sebagai warga nahdliyin.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaik an ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesai an e-book ini baik secara langsung maupun tidak langsung.. Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulispun sadar bawasanya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan , sedangkan kesempurna an hanya milik Allah Azza Wa’jalla sehingga dalam penulisan dan penyusunan nya masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstrukti f akan senantiasa penulis harapkan dalam upaya untuk mengevalua si diri penulis pribadi ^_^. Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidaksem purnaan penulisan dan penyusunan e-book ini ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh warga nahdliyin khususnya.
Kepanjen,1 2 Maret 2011
M. Imam Nawawi, S.PdI
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………… ………………………… ………………………. . 1
Kata Pengantar ………………………… ………………………… ………………………. . 2
Daftar Isi ………………………… ………………………… ………………………… ……. 3
1. Makna ”KULLU BID’AH DHOLALAH” ………………………… ………………. 4
2. Mengenal Makna Bidah ………………………… ………………………… …………. 7
3. Pertanyaan dan jawaban seputar bidah ………………………… …………………. 11
4. Bid’ah sebuah kata sejuta makna ………………………… ………………………… 15
5. Contoh-con toh bid’ah yang diamalkan para sahabat .......... .......... .......... .......... ...... 26
6. Qadha (pengganti an) Sholat yang ketinggala n dan dalil-dali l yang berkaitan dengannya .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ........ 42
7. Dalil Sholat sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at .......... .......... .......... .......... .... 45
8. Dalil mengangkat tangan waktu berdo’a .......... .......... .......... .......... .......... .......... ....... 48
9. Menyebut nama Rasulullah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana… 50
10. Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat ………………………… ……………… 58
11. Bagaimana hukum menyuguhka n makanan baik kepada para jamaah yang datang membacakan tahlil bagi si mayit maupun bagi para pentakziah ? ………………... 63
12. Hukum Duduk Bersama Untuk Berdzikir ………………………… ………………. 65
13. Dalil Nyekar Bunga Di Kuburan ………………………… ………………………… . 66
14. Dalil Tentang Bolehnya Bertabaruk ………………………… …………………….. . 68
15. Bagaimana hukumnya membaca manaqib? ………………………… …………….. 71
16. Dalil Bolehnya Bertawasul ………………………… ……………...…… …………… 77
17. Hukum Maulid Nabi ………………………… ………………………… ……………. 80
18. Dalil Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaa n shalat berjama'ah ………. 82
19. Berzikir dengan pengeras suara ………………………… ………………………… .. 83
20. Hukum Meng-Hadiah-kan Fatihah ………………………… ………………………. 84
21. Hukum Bacaan al-Qur’an, Doa (Tahlil) dan Jamuan makan untuk orang mati ... 85
22. Tahlilan/ Kenduri Arwah, Mana dalilnya? ………………………… ………………. 87
23. Hukum Membaca Al-Barzanj i ………………………… ………………………… …. 98
1. Makna “KULLU BID’AH DHOLALAH”
Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemah kan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluk hidup.Kare na Allah juga berfirman menceritak an tentang penciptaan jin dan Iblis yang berbunyi: Khalaqtani i min naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptaka n aku (iblis) dari api.
Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat diterjemah kan secara mutlak dengan arti : SETIAP/ SEMUA, sebagaiman a umumnya jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits Nabi saw. : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,. Maka harus diartikan: Sesungguhn ya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan SETIAP/ SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi saw., yang lain: Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha. Artinya : Barangsiap a memulai/ menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatka n pahalanya dan pahala orang yang mengikutin ya.
Jadi jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-oran g di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh Nabi saw. dan dijanjikan pahala bagi pencetusny a, serta tidak dikatagori kan BID`AH DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptak an perbuatan baik) adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakars ai pengharaka tan pada mushaf Alquran, serta pembagiann ya pada juz, ruku`, maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifik asi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya :
1. Adanya sebagian masyarakat yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla.
2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan.
3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam masalah-ma salah ijtihadiya h furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah) , padahal sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Ha dits, yang motifnya hanya karena merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifi kasi sebagai BID`AH DHALALAH).
Ada pula pemahaman yang mengatakan , bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di dalam Islam dan tidak bertentang an dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut SANNA (menciptak an perbuatan baik). Contohnya:
- Adanya sekelompok
orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-toko h beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagori kan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanak an shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan, adalah masalah ijtihadiya h yang tidak didapati tuntunanny a secara langsung dari Nabi saw. maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya dalil-dali l dari Alquran-Ha dits yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/ sharih, melainkan secara ma`nawiyah . Antara lain adanya ayat Alquran-Ha dits yang memerintah kan shalat sunnah malam (tahajjud) , dan adanya perintah menghidupk an malam di bulan Ramadhan.
Tetapi mengkhusus kan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jela s perbuatan BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan ulama salaf. Sekalipun demikian masih dapat dikatagori kan sebagai perilaku BID`AH HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa untuk mayyit, melaksanak an perayaan maulid Nabi saw. mengadakan isighatsah , dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-ama lan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. namun masih terdapat dalil-dali l Alquran-Ha ditsnya sekalipun secara ma’nawiyah .
Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan masyarakat ), bahwa isi kegiatan tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jela s adalah perintah Alquran-Ha dits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanalla h, astaghfiru llah, membaca shalawat kepada Nabi saw. yang jelas- jelas perintah Alquran-Ha dits. Ada juga pembacaan doa yang disabdakan oleh Nabi saw. : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang jelas, bahwa menghadiri majelis ta`lim atau majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam Alquran-Ha dits.
Hanya saja mengemas amalan-ama lan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara tahlilan di rumah-ruma h penduduk adalah BID`AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagori kan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususka n di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan tokoh-toko h Wahhabi Arab Saudi.
Nabi saw. dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat pemancar radio atau menerbitka n majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang , Nabi saw. pernah melarang penulisan apapun yang bersumber dari diri beliau saw. selain penulisan Alquran. Sebagaiman di dalam sabda beliau saw. : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran, barangsiap a menulis dariku selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembang an Islam, Nabi saw. menghapus larangan tersebut dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanla h hadits untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah Nabi saw. untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi batasan-ba tasan yang sangat ketat dan syarat-sya rat yang harus dipenuhi oleh para muhadditsi n. Fenomena di atas sangat berbeda dengan penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah mencetuska n pemahaman dan pemikirann ya, tanpa ada syarat-sya rat yang mengikat, selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar jurnalisti k maka artikel akan dimuat, sekalipun isi kandungann ya jauh dari standar kebenaran syariat.
Contohnya, dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercay a) pada diri penulis, sebagaiman a yang disyaratka n dalam periwayata n dan penulisan Hadits Nabi saw. Jadi sangat berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk diterima-t idaknya Hadits yang diriwayatk annya.
Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya , jika berisi nilai-nila i kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat dikatagori kan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat majalah atau bulletin ini, tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. maupun oleh ulama salaf manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.
2. Mengenal Makna Bidah
Ada sekelompok golongan yg suka membid’ah- bid’ahkan (sesat) berbagai kegiatan yang baik di masyarakat , seperti peringatan Maulid, Isra’ Mi’raj, Yasinan mingguan, Tahlilan dll. Kadang mereka berdalil dengan dalih “Agama ini telah sempurna” atau dalih “Jika perbuatan itu baik, niscaya Rasulullah saw. telah mencontohk an lebih dulu” atau mengatakan “Itu bid’ah” karena tidak pernah dicontohka n oleh Rasulullah saw. Atau
“jikalau hal tersebut dibenarkan , maka pasti Rasulullah saw. memerintah kannya. Apa kamu merasa lebih pandai dari Rasulullah ?”
Mem-vonis bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru) dengan argumen di atas adalah lemah sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda Rasul saw. tidak mencontohk an ataupun memerintah kannya. Teriwayatk an dalam berbagai hadits dan dalam fakta sejarah.
1. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh), “Hai Bilal, ceritakan kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya yang pernah engkau amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara terompamu di surga. Bilal berkata, “Aku tidak mengamalka n amalan yang paling aku harapkan lebih dari setiap kali aku berssuci, baik di malam maupun siang hari kecuali aku shalat untuk bersuciku itu”.Dalam riwayat at Turmudzi yang ia shahihkan, Nabi saw. berkata kepada Bilal,
‘Dengan apa engkau mendahului ku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak mengumanda ngkan adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melaikan aku bersuci dan aku mewajibkan atas diriku untuk shalat (sunnah).” Maka Nabi saw. bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahului ku masuk surga).
Hadis di atas juga diriwayatk an oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih berdasarka n syarat keduanya (Bukhari & Muslim).” Dan adz Dzahabi mengakuiny a.
Hadis di atas menerangka n secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal) melakukan sesuatu dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada perintah dari Nabi saw.
2. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis lain pada kitab Shalat, bab Rabbanâ laka al Hamdu,
Dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami shalat di belakang Nabi saw., maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari ruku’ beliau membaca, sami’allah u liman hamidah (Allah maha mendengar orang yang memnuji-Ny a), lalu ada seorang di belakang beliau membaca, “Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami, hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta diberkahi) .
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah orang yang membaca kalimat-ka limat tadi?” Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksika n tiga puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala bacaaan itu.”
Ibnu Hajar berkomenta r, “Hadis itu dijadikan hujjah/ dalil dibolehann ya berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain apa yang diajarkan (khusus oleh Nabi saw.) jika ia tidak bertentang dengan yang diajarkan. Kedua dibolehkan nya mengeraska n suara dalam berdzikir selama tidak menggangu. ”
3. Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani meriwayatk an dari Ibnu Umar, ia berkata,
Ada seorang lali-laki datang sementara orang-oran g sedang menunaikan shalat, lalu ketika sampai shaf, ia berkata:
اللهُ أكبرُ كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و أصِيْلاً.
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah yang mengucapka n kalimat-ka limat tadi?
Orang itu berkata, “Aku wahai Rasulullah saw., aku tidak mengucapka nnya melainkan mengingink an kebaikan.”
Rasulullah saw. bersabda, “Aku benar-bena r menyaksika n pintu-pint u langit terbuka untuk menyambutn ya.”
Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku mendengarn ya, aku tidak pernah meninggalk annya.”
Dalam riwayat an Nasa’i dalam bab ucapan pembuka shalat, hanya saja redaksi yang ia riwayatkan : “Kalimat-k alimat itu direbut oleh dua belas malaikat.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah meningglak annya semenjak aku mendengar Rasulullah saw. bersabda demikian.”
Di sini diterangka n secara jelas bahwa seorang sahabat menambahka n kalimat dzikir dalam i’tidâl dan dalam pembukaan shalat yang tidak/ belum pernah dicontohkan atau diperintah kan oleh Rasulullah saw. Dan reaksi Rasul saw. pun membenarka nnya dengan pembenaran dan kerelaan yang luar biasa.
Al hasil, Rasulullah saw. telah men-taqrîr -kan (membenark an) sikap sahabat yang menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah beliau ajarkan.
4. Imam Bukhari meriwayatk an dalam kitab Shahihnya, pada bab menggabung kan antara dua surah dalam satu raka’at dari Anas, ia berkata,
“Ada seorang dari suku Anshar memimpin shalat di masjid Quba’, setiap kali ia shalat mengawali bacaannya dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad sampai selesai kemudian membaca surah lain bersamanya . Demikian pada setiap raka’atnya ia berbuat. Teman-tema nnya menegurnya , mereka berkata, “Engkau selalu mengawali bacaan dengan surah itu lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang engkau pilih, apakah membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalk an apa yang biasa aku kerjakan. Kalau kalian tidak keberatan aku mau mengimami kalian, kalau tidak carilah orang lain untuk menjadi imam.” Sementara mereka meyakini bahwa orang ini paling layak menjadi imam shalat, akan tetapi mereka keberatan dengan apa yang dilakukan.
Ketika mereka mendatangi Nabi saw. mereka melaporkan nya. Nabi menegur orang itu seraya bersabda, “hai fulan, apa yang mencegahmu melakukan apa yang diperintah kan teman-tema nmu? Apa yang mendorongm u untuk selalu membaca surah itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku mencintain ya.”
Maka Nabi saw. bersabda, “Kecintaan mu kepadanya memasukkan mu ke dalam surga.”
Demikianla h sunnah dan jalan Nabi saw. dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan walaupun tidak diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama amalan itu sejalan dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka beliau selalu merestuiny a. Jawaban orang tersebut membuktika n motifasi yang mendorongn ya melakukan apa yang baik kendati tidak ada perintah khusus dalam masalah itu, akan tetapi ia menyimpulk annya dari dalil umum dianjurkan nya berbanyak- banyak berbuat kebajikan selama tidak bertentang an dengan dasar tuntunan khusus dalam syari’at Islam.
Kendati demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa mengawali bacaan dalam shalat dengan surah al Ikhlash kemudian membaca surah lain adalah sunnah yang tetap! Sebab apa yang kontinyu diklakukan Nabi saw. adalah yang seharusnya dipelihara , akan tetapi ia memberikan kaidah umum dan bukti nyata bahwa praktik-pr akti seperti itu dalam ragamnya yang bermacam-m acam walaupun seakan secara lahiriyah berbeda dengan yang dilakukan Nabi saw. tidak berarti ia bid’ah (sesat).
5. Imam Bukhari meriwayatk an dalam kitab at Tauhid,
dari Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi sa. Mengutus seorang memimpin sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu apabila memimpin shalat membaca surah tertentu kemudian ia menutupnya dengn surah al Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang, mereka melaporkan nya kepada nabi saw., maka beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukann ya?” Ketika mereka bertanya kepadanya, ia menjawab “Sebab surah itu (memuat) sifat ar Rahman (Allah), dan aku suka membacanya .” Lalu Nabi saw. bersabda, “Beritahuk an kepadanya bahwa Allah mencintain ya.” (Hadis Muttafaqun Alaihi).
Apa yang dilakukan si sahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., namun kendati demikian beliau membolehka nnya dan mendukung pelakunya dengan mengatakan bahwa Allah mencintain ya.
3. Pertanyaan dan Jawaban Seputar Bidah
Orang-oran g yang tidak sependapat dengan amalan warga NU biasanya membidahka n amalan warga Nahdliyin dengan dalil sebagai berikut:
- Barangsiap
a menimbulka n sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari)
- Sesungguhn
ya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah , dan sebaik-bai k jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-bu ruk urusan agama ialah yang diada-adak an. Tiap-tiap yang diada-adak an adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)
- Apabila kamu melihat orang-oran
g yang ragu dalam agamanya dan ahli bid'ah sesudah aku (Rasululla h Saw.) tiada maka tunjukkanl ah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyakl ah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanla h mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-oran g yang dikhawatir kan meniru-nir u bid'ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatk an derajat kamu di akhirat. (HR. Ath-Thahaw i)
- Kamu akan mengikuti perilaku orang-oran
g sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukiny a. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah ?" Beliau menjawab, "Orang-ora ng Yahudi dan Nasrani." (HR. Bukhari)
- Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku tiada: kesesatan sesudah memperoleh
pengetahua n, fitnah-fit nah yang menyesatka n, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)
- Barangsiap
a menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan , "Ya Rasulullah , apakah pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab, "Mengada-a dakan amalan bid'ah, lalu melibatkan orang-oran g kepadanya. " (HR. Daruquthin dari Anas).
Setelah kita membaca hadits-had its di atas Coba saudara cermati lagi. Telah kami terangkan bahwa kami umat Islam Ahlussunna h Wal Jamaah sangat menolak bid'ah dhalalah, persis dengan hadits2 di atas, yaitu menolak perilaku menciptaka n ibadah baru yang bertentang an dengan ajaran Syariat Islam, contohnya pelaksanaa n Doa Bersama Muslim non Muslim, karena perilaku itu bertentang an dengan Alquran, falaa taq'uduu ma'ahum hatta yakhudhuu fi hadiitsin ghairih (janganlah kalian duduk dengan mereka -non muslim dalam ritualnya- hingga mereka membicarak an pembahasan lain -yang bukan ritual). Serta dalil lakum diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi jelaslah, perilaku “Doa Bersama Muslim non Muslim” ini ini jelas-jela s bid'ah dhalalah, tidak ada tuntunanny a sedikitpun di dalam Islam. Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk mayit, pasti tetap kami laksanakan , karena tidak bertentang an dengan syariat Islam,
bahkan ada perintahny a baik dari Alquran maupun Hadits. Perlu diketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan itu, adalah dimulai dengan
- Mengumpulk
an masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi? Hadits masyhur : idza marartum bi riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah ? Qaala hilaqud dzikr (Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : majlis dzikir).
- Membaca surat Alfatihah,
tidakkah baca Alfatihah ini perintah syariat ? - Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah syariat ?
- Baca Al-ikhlas,
Al-alaq-An naas, tidakkah Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang mudah/ ringan dari ayat Alquran).
- Baca subhanalla
h, astaghfiru llah, shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah .
- Doa penutup.
- Lantas tuan rumah melaksanak
an ikramud dhaif, menghormat i tamu sesuai dengan kemampuann ya.
Tentunya dalam masalah ini sangat bervariati f sesuai dengan tingkat kemampuann ya, tak ubahnya saat Akhi/ keluarga Akhi melaksnaka n pernikahan dengan suguhan untuk tamu, yang disesuaika n dengan kemampuan tuan rumah.
Nah, jika amalan2 ini dikumpulka n dalam satu tatanan acara, maka itulah yang dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah mengamalka n tahlilan model Indonesia ini, namun setiap komponen dari ritual tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi saw. maka yang demikian inilah yang dinamakan dengan BID'AH HASANAH.
Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini? Tiada lain adalah Khalifah ke dua, Sahabat Umar bin Khatthab, tatkala beliau tahu bahwa Nabi mengajarka n shalat sunnah Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi saw. melaksanak annya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksnaka n 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para sahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat kekhalifah an Sahabat Umar, beliau berinisiat if mengumpulk an semua masyarakat untuk shalat Tarawih dengan berjamaah, dilaksanak an 20 rakaat penuh di dalam masjid Nabawi, seraya berkata : Ni'matil bid'atu haadzihi (sebaik-ba ik bid’ah adalah ini = pelaksanaa n tarawih 20 rakaat dengan berjamaah di dalam masjid sebulan penuh). Bid'ahnya sahabat Umar ini terus berjalan hingga saat ini, malahan yang melestarik an adalah tokoh-toko h Saudi Arabia seperti kita lihat sampai saat ini bahwa di Masjidil Haram tarawih berjama’ah 20 rokaat sebulan penuh, sekaligus dengan mengkhatam kan Qur’an. Hal ini sama lestarinya dengan bid'ahnya para Wali songo yang mengajarka n tahlilan di masyarakat Muslim Indonesia. Jadi baik Sahabat Umar dan pelanjut shalat tarawih di masjid-mas jid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan para pengikutny a umat Islam Indonesia, adalah pelaku BID'AH HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang diriwayatk an oleh Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min ujurihim syaik (Barangsia pa yang memberi contoh sunnatan hasanatan (perbuatan baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentang an dengan syariat), maka ia akan mendapatka n pahalanya dan kiriman pahala dari orang yang mengamalka n ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutny a sedikit pun.
Jadi sangat jelas baik sahabat Umar maupun para Wali songo telah mengumpulk an pundi-pund i pahala yang sangat banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalka n ajaran Bid'ah Hasanahnya beliau-bel iau itu. Baik itu berupa Bid'ahnya Tarawih Berjamaah maupun Bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya.
CONTOH-CONTOH BID’AH HASANAH
Setelah baginda Nabi saw. wafat pun amal-amal perbuatan baik yang baru tetap dilakukan. Umat islam mengakuiny a berdasar dalil-dali l yang shahih. Simak berbagai contoh berikut,
1. Pembukuan al Qur’an. Sejarah pengumpula n ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra. Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh setelah itu kemudian penomoran ayat/ surat, harakat tanda baca, dll.
2. Sholat tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulk an kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembang an sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa
3. Modifikasi yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaa n sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at.
4. Pembukuan hadits beserta pemberian derajat hadits shohih, hasan, dlo’if atau ahad. Bagaimana sejarah pengumpula n dari hadits satu ke hadits lainnya. Bahkan Rasul saw. pernah melarang menuliskan hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru digalakkan sejak era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar abad ke 10 H.
5. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa Arab, dll. Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll
6. Saat ini melaksanak an ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul saw. atau para sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di hotel berbintang penuh fasilitas kemewahan, tenda juga diberi fasiltas pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat menuju ke Arafah, atau kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.
7. Pendirian Pesantren dan Madrasah serta TPQ-TPQ yang dalam pengajaran nya dipakai sistem klasikal.
dan masih banyak contoh-con toh lain.
4. Bidah sebuah kata sejuta makna
Setelah adanya uraian singkat tapi cukup jelas pada halaman sebelum ini mengenai faham Salafi/ Wahabi dan pengikutny a, marilah kita teruskan mengupas apa yang dimaksud Bid’ah menurut syari’at Islam serta wejangan/ pandangan para ulama pakar tentang masalah ini. Dengan demikian insya Allah buat kita lebih jelas bidáh mana yang dilarang dan yang dibolehkan dalam syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-h adapan dalam memahami ucapan-uca pan Rasulullah saw. sebagai Shohibusy- Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-mas ing tidak dapat ditentukan batas-bata s pengertian nya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertian nya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalk annya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dali l yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulullah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperinga tkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatk an oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-me rahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhn ya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an ) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adak an, dan setiap hal yang diada-adak an ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketenga hkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatk an oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsia pa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjaka nnya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiap a yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjaka nnya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim VII hal.61). Selain hadits ini masih beredar lagi hadits-had its yang semakna yang diriwayatk an oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah [ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan ; ‘Pengertia n berdasar kan keumuman lafadh, bukan berdasarka n kekhususan sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw., berhadap-h adapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adak an yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-h adapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfaha ni dalam kitab Mufradatul -Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan : ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulullah saw. Berarti Jalan Rasulullah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukka n oleh beliau. Sunnatulla h dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-N ya. Contoh firman Allah SWT. dalam Surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatull ah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatulla h itu’ .
Penjelasan nya ialah bahwa cabang-cab ang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihk an jiwa manusia dan mengantark an kepada keridhoan Allah SWT. Demikianla h menurut penjelasan Ar-Raghib Al-Ashfaha ni.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah . Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-u lang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadata n maupun yang tidak dianggap sebagai peribadata n’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan , bahwa beberapa riwayat hadits menggunaka n kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartika n kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan- persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintah kan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-oran g yang berijtihad menurut kesanggupa n akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan- persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulullah saw. dalam membenarka n, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan- persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeningga l Rasulullah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentang an dengan Sunnah Rasulullah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulullah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulullah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentang an dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangk an akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan , bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintah - kan secara khusus oleh Rasulullah saw.!
Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukka n bahwa Rasulullah saw. sering membenarka n prakarsa baik (umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya ) yang diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan baca halaman selanjutny a). Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjaka n- nya berdasarka n pemikiran dan keyakinann ya sendiri, bahwa yang dilakukan- nya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj:77 : ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntun gan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-mas ing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kai dah dan pedoman-pe doman yang telah ditetapkan batas-bata snya. Amal kebajikan yang prakarsany a diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarka n ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulullah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentang an dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentang an dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., dan tidak mendatangk an madharat/ akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaiman a yang terdapat dalam hadits Rasulullah saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulullah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya . Setiap amal yang dikategori kan sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja-ka n secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–had its lain (keteranga n lebih mendetail baca halaman selanjutny a) yang membuktika n sikap Rasulullah saw. yang membenarka n dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para sahabat- nya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulullah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-ama lan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka kategorika n atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutny a), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fa haman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaska nnya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَا نِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَ ةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَ ةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَ ةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَث َاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَ ةٌ
‘Perkara-p erkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-pe rkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-pe rkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentang an dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussala m, Imam Al-Qurafiy , Imam Ibnul-‘Ara biy, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum syari’at,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaiman a hukum dalam fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/ 318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunak an untuk sesuatu yang bertentang an dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-huku m yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapka n oleh ulama-ulam a pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoob ih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqoon i dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’i d ; As-Syaukan i dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qasthol aani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/ sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/ mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-ola h mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-ola h bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicaraka n.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Iht ifal Bil Maulidin Nabawayyis y Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantaran ya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/ 154—pen.) bid’ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewen gkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin memahami Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar.
2. Bid’ah mandub/ baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-se kolah, mengumanda ngkan adzan diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuha n Islam belum pernah dilakukan.
3. Bid’ah makruh; menghiasi masjid-mas jid dengan hiasan-hia san yang bukan pada tempatnya, mendekoras ikan kitab-kita b Al-Qur’an dengan lukisan-lu kisan dan gambar-gam bar yang tidak semestinya .
4. Bid’ah mubah; seperti menggunaka n saringan (ayakan), memberi warna-warn a pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan) , memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain sebagainya .
5. Bid’ah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dali l umum hukum syari’at dan tidak mengandung kemaslahat an yang dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/ sesat atau haram, maka sebagian amalan-ama lan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintah kan Rasulullah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpula n ayat-ayat Al-Qur’an, penulisann ya serta pengumpula nnya (kodifikas inya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamat kan dan melestarik an keutuhan dan keautentik an ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkina n ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-oran g yang menghafaln ya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulk an kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/ Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaa n seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada universita s Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulullah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumanda ngkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-b ulan atau bertahun-t ahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanak an pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-neg ara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-huru fnya, memberi nomer pada ayat-ayatn ya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tem pat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaska n ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya .
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintah kan Allah SWT. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesaw.at-p esaw.at tempur, tank-tank raksasa, peluru-pel uru kendali, raket-rake t dan persenjata an modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-con toh bid’ah/ masalah yang baru seperti mengada kan syukuran waktu memperinga ti hari kemerdekaa n, halal bihalal, memperinga ti hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperinga ti semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidup- nya Rasulullah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadata n tidak sesuai dengan zamannya Rasulullah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembanguna n hotel-hote l disekitar Mina dan tenda-tend a yang pakai full ac sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya .
Sesungguhn ya bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang teknologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulil lah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaiman a telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantarany a Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Katsir ra. serta para ulama lainnya menerangka n: “Bid’ah/ masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-gari s syari’at, semuanya mustahab (dibolehka n) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeningga l Rasulullah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah , Sunnah Rasulullah saw. dan kaidah-kai dah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya , bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-M ustaqim banyak menyebutka n bentuk-ben tuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-g enerasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya . Kebajikan- kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikanny a oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarka n celaan terhadap ulama-ulam a terdahulu yang mensunnahk an kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainn ya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantarany a : Mensunnahk an orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-u sap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya .
Ibnu Taimiyyah membenarka n pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahk an shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina ), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbany ak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan : “Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapka n oleh golongan pengingkar ).
Masalah-ma salah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran ) yang dilakukan oleh isteri Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/ sesat.
Sebuah hadits yang diketengah kan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya juz 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksika n Rasulullah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetenga hkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.
Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalka nnya. Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan ke neraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbath ah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarka n istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyis y Syarif tersebut disebutkan : Yang dikatakan oleh orang fanatik (extrem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasululla h saw.) menyebutny a bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjika n pahala bagi pelakunya.
Firman Allah SWT. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-oran g yang beruntung’. (Ali Imran (3) : 104).
Allah SWT. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan ”. (Al-Hajj:7 7)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulullah saw.;
وَعَنْ أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ( رواه مسلم)
‘Siapa yang menunjukka n kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjaka nnya’. ( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulullah saw. bersabda:
‘Barangsia pa menciptaka n satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanak annya dengan tanpa dikurangi sedikitpun , dan barangsiap a menciptaka n satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-oran g yang mengamalka nnya dengan tanpa dikurangi sedikitpun ” .
Masih banyak lagi hadits yang serupa/ semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-ga gasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulullah saw. dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adak an oleh manusia daripada perkara-pe rkara keduniaan yang mendatangk an manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/ buruk adalah sesuatu yang diada-adak an oleh manusia daripada perkara-pe rkara keduniaan yang mendatangk an bahaya dan kemudharat an.
Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarka n adanya gagasan-ga gasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-pe rkara dunia ataupun perkara-pe rkara agama!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulullah saw. berikut ini:
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeningga lku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya ), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpin an beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeningga l Rasulullah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarka n makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Ta bi’in dan seterusnya ; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahka n (urusan itu) kepada Rasulullah dan Ulul-amri (orang-ora ng yang mengurus kemaslahat an ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-oran g yang ingin mengetahui kebenarann ya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri )”.
Para alim-ulama bukan kaum awamyang mengurus kemaslahat an ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan- ketentuan dan hukum-huku m agama. Ibnu Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulullah ) dan telah pula memilih sahabat-sa habatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah “ . Demikian yang diberitaka n oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentang an dengan nash dan dasar-dasa r syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur- aduk kata bid’ah itu antara penggunaan nya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentang an dengan nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentang an dengan nash dan dasar-dasa r syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentang an dengan nash dan dasar-dasa r syari’at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/ pertama atau sesudahnya .
Barangsiap a yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw., para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangk an terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur- aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarka n penggunaan nya yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamk an amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalanka n ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatka n kita kepada Allah SWT. dan menjauhi yang mungkar (keburukan ) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukka n kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah SWT. pahala yang sama dengan orang yang mengerjaka nnya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya : semua bid’ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-had its yang lain yang menganjurk an manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarann ya oleh jumhurul-u lama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulullah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadata n saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi ) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaiman a para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggara n hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkut an, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia manapun tidak pernah diperkenan kan membuat klaim-klai m yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Ny a. Karena itu, kita harus berhati-ha ti untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggara n terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkut an telah memberi maaf.
5. Contoh-con toh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk hadits-had its Rasulullah saw. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah SWT. atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan, diajarkan atau diperintah - kan oleh Rasulullah saw. selama hal ini tidak merubah dan keluar dari garis-gari s yang ditentukan syari’at itu adalah boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama dan mendapat pahala.
- Hadits dari Abu Hurairah: “Rasululla
h saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-mala m sebagaiman a aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengah kan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulullah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalk an sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah SWT. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan : Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian , bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperboleh kan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulullah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)- nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
- Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan
sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-wakt u ibadah atas dasar prakarsany a sendiri-se ndiri. Rasulullah saw. tidak memerintah kan hal itu dan tidak pula melakukann ya, beliau hanya secara umum menganjurk an supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarka n prakarsa dua orang sahabat itu.
- Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangka
n bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulullah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapka n ‘sami’alla hu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-b anyaknya dan sebaik-bai knya atas limpahan keberkahan -Mu). Setelah shalat Rasulullah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkut an menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulullah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalan i dalam Al-Fath II:287 mengatakan : ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehka n membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentang an dengan dzikir yang ma’tsur dicontohka n langsung oleh Nabi Muhammad saw.. Disamping itu, hadits tersebut mengisyara tkan bolehnya mengeraska n suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya …’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukka n juga diperboleh kannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang telah ditentukan (diwajibka n). Juga hadits itu memperbole hkan orang mengeraska n suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulka n keberisika n.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’a h Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna al-bid’ah
- Hadits serupa diatas yang diriwayatk
an oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-e ngah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamduli llah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulullah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-oran g diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakan nya ? Sesungguhn ya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-e ngah (kelelahan ) sehingga aku mengatakan nya’. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkat kannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
- Dalam Kitabut-Ta
uhid Al-Bukhori mengetenga hkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan : “Pada suatu saat Rasulullah saw. menugas- kan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah , selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah . Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantarany a memberitah ukan persoalan itu kepada Rasulullah saw. Beliau saw.menjaw ab : ‘Tanyakanl ah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkut an menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangka n sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya ’. Ketika jawaban itu disampaika n kepada Rasulullah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainy a’ “.
Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintah kan oleh Rasulullah saw. Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulullah saw. tidak mempersala hkan dan tidak pula mencelanya , bahkan memuji dan meridhoiny a dengan ucapan “Allah menyukainy a”.
- Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriter
akan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukann ya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya : Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalk an surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalk an surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulullah saw. dan menceriter akan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulullah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhn ya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-tema nmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulullah , aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaan mu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaann ya kepada surah tersebut. Namun Rasulullah saw. menggembir akan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukka n bahwa beliau saw. meridhainy a’.
Imam Nashiruddi n Ibnul Munir menjelaska n makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutny a ia menerangka n; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulullah saw. akan menyuruhny a supaya belajar menghafal Surah-sura h selain yang selalu dibacanya berulang-u lang. Akan tetapi karena ia mengemukak an alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas) , Rasulullah saw. dapat membenarka nnya, sebab alasan itu menunjukka n niat baik dan tujuan yang sehat’.
Lebih jauh Imam Nashiruddi n mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukka n, bahwa orang boleh membaca berulang-u lang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaanny a. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkut an tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalk annya’.
Menurut kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zama n berikutnya , tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupa- kan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahan kan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan diperintah kan oleh Rasulullah saw. Sedangkan sunnah-sun nah yang tidak pernah dijalankan atau diperintah kan oleh Rasulullah saw. bila tidak keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah SWT.
- Al-Bukhori
mengetenga hkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan ) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan , bahwa ia mendengar seorang mengulang- ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitah ukan hal itu kepada Rasulullah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang- ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulullah saw.berkat a : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNy a, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul- Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang mengatakan , bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-mene rus membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatk an juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan : ‘Tetanggak u selalu bersembahy ang di malam hari dan terus-mene rus membaca Qul huwallahu ahad’.
- Ashabus-Su
nan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatk an sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriter akan kesaksiann ya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulullah saw. bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya , dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat meng- gembirakan dari Rasulullah saw. itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau diperintah kan oleh Rasulullah saw. kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentu- an syari’at dan bernafaska n tauhid, maka beliau saw. menanggapi nya dengan baik, membenarka n dan meridhoiny a.
- Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapka
n ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanall ahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulullah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapka n kalimat-ka limat tadi? Jawab sese- orang dari kaum; Wahai Rasulullah , akulah yang mengucapka n kalimat-ka limat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-ka limat tadi sesungguhn ya langit telah dibuka pintu-pint unya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalk an untuk mengucapka n kalimat-ka limat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’an i ‘Abdurrazz aq juga mengutipny a dalam Al-Mushann af.
Demikianla h bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulullah saw. terhadap prakarsa-p rakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukann ya atau memerintah kannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalka n hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulullah saw. tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Yang lebih mengherank an lagi ialah ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut waktu sholat shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari hadits Rasulullah saw. sendiri yang diriwayatk an oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat berdirinya untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga berdasarka n hadits-had its yang diketengah kan oleh Anas bin Malik; Awam bin Hamzah; Abdullah bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatk an oleh sekolompok huffaz dan mereka juga ikut menshahih- kannya serta para ulama lainnya diantarany a Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan bid’ah sedangkan tambahan-t ambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas atas prakarsany a para sahabat sendiri tidak dipersalah kan oleh Nabi saw. malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
- Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan
dengan jalan berdo’a kepada Allah SWT. atau dengan jalan bertabarru k pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan . Karena sangat lapar mereka minta pada orang-oran g suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatin ya, akhirnya mereka mendekati sahabat
Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhk annya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakan nya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian . Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulullah saw. Setiba dihadapan Rasulullah saw., mereka menceriter akan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhk an’? Rasulullah saw. membenarka n mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhor i)
- Abu Daud, At-Tirmudz
i dan An-Nasa’i mengetenga hkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan ; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombo l dan ditengah-t engah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulullah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah , dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengah kan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang meriwayatk an amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulullah saw. Semuanya itu diridhoi oleh Rasulullah saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-ama lan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulullah saw. sebelum atau sesudahnya . Karena semua itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan mereka diberi kabar gembira. Perbuatan- perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan sunnah mustanbath ah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarka n istinbath atau hasil ijtihad. Dengan demikian hadits-had its diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaik- an selama tidak keluar dari garis-gari s yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/ baik hukumnya, apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-had its diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaiman a Rasulullah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُو ْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaiman a kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarka n dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-bata s yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaska n tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-huku m yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-t anya lagi; Bagaimanak ah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya , banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut kesanggupa nnya masing-mas ing dalam menguasai ilmu pengetahua n, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangka n hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaba n) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaiman a yang telah kita kenal sekarang ini. Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeningga l beliau saw. berpendapa t bahwa pengkodifi kasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kala u pengkodifi kasian itu akan mengakibat kan rusaknya kemurnian agama Allah SWT., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kala u dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukak an kekhawatir annya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulka n supaya Khalifah memerintah kan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah SWT. membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakat lah dua orang sahabat Nabi itu untuk mengitabka an ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan diperintah kan supaya melaksana- kan pengitabat an ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik! Untuk lebih detail keterangan nya silahkan membaca riwayat hadits ini yang dikemukaka n oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya juz 4 halaman 243 mengenai pembukuan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu Rasulullah saw. masih hidup. Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri masing-mas ing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianla h contoh suatu amalan yang tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktika n, bahwa Nabi saw. membenarka n dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami kemuka kan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Hadits-had its diatas itu mengisyara tkan adanya bid’ah hasanah, karena Rasulullah saw. membenarka n serta meridhoi atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau memerintah kan amalan-ama lan tersebut. Begitu juga prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-ama lan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulullah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat mendekatka n diri untuk mendapatka n ridha Allah SWT. dan untuk mengingatk an (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaiman a hadits Rasulullah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَال ُ بِالْنـِّي َّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِ هِ فَهِجْرَتُ هُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِ هِ (رواه البخاري
‘Sesungguh nya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya ) karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil) ’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-oran g yang gemar melontarka n tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulullah saw. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaiman a yang telah kami kemukakan dalil-dali l haditsnya tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatka n para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan ; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-mi lahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-le barnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan , bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah SWT. atas pemahaman mereka semacam ini.
Dalil-dali l yang membantah dan jawabannya
Hanya orang-oran g egois, fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang mengingkar i hal tersebut. Seperti yang telah kemukakan sebelum ini bahwa golongan pengingkar ini selalu menafsirka n Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai dengan paham mereka.
Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulullah saw. berikut ini :
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adak an (muhdatsah ) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.
Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsia pa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-had its tersebut oleh mereka dipandang sebagai pengkhusus an hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak, yakni dholalah/ sesat. Dengan adanya kata Kullu (setiap/ semua) pada hadits diatas ini tersebut mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. adalah bi’dah dholalah.
Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/ kebaikan dan termasuk yang dikehendak i oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-con toh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahka n bacaan-bac aan dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintah kan Rasulullah saw. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbany ak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-p ayah memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar tuduhan-tu duhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasululla h saw. tidak pernah memerintah kan dan mencontohk annya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-ta bi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah , sahabat dan para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita kaum muslimin diperintah kan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukann ya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulam a salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kai dah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindung an oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/ hujjah untuk melegitima si tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw. dan sebagainya . Terhadap semua ini mereka langsung menghukumn ya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya ’, tanpa mau mengembali kannya kepada kaidah-kai dah atau melakukan penelitian terhadap hukum-huku m pokok/ asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah mengamal- kannya (umpamanya ; berkumpul untuk tahlilan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya ). Sedangkan yang batil/ salah atau fasid adalah penghukum- an mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerja- kan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuma n dengan berdasarka n kaidah diatas tersebut adalah penghukuma n tanpa dalil/ nash. Dalil untuk mengharamk an sesuatu perbuatan haruslah menggunaka n nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan mengingkar i perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukann ya.
Telitilah lagi hadits-had its diatas yakni amalan-ama lan bid’ah para sahabat yang belum pernah dikerjakan atau diperintah kan oleh Rasulullah saw. dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapi nya. Penanggapa n Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan ’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak ada keterangan yang valid dari Rasulullah saw., maka amalan itu tidak boleh dinisbahka n kepada beliau saw. !!
Jelas disini para ulama tidak mengatakan bahwa suatu amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada keterangan dari beliau saw., mereka hanya mengatakan amalan itu tidak boleh dinisbahka n kepada Rasulullah saw. bila tidak ada dalil dari beliau saw. !
Kalau kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaiman a yang sering kita baca dikitab-ki tab fiqih para ulama pakar yaitu Satu hadits bisa dishohihka n oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama ber- pedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. tetapi berbeda cara penguraian nya.
Tidak lain semuanya, karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang mengatakan nya. Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-be da diantara para ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga !!
Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulk an hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan . Umpamanya mereka berbeda dalam meng- ambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shohih. Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulullah saw., umpama- nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjur- kan atau mensaranka n suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatka n dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjaka nnya secara langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulullah saw. yang dalilnya/ riwayat- nya sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohka n, melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau saw. Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya .
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulullah saw. yang menganjurk an orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulullah saw. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya . Para shahabat melihat langsung beliau saw. melakukann ya, kemudian meriwayatk annya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukann ya langsung, juga tidak pernah memerintah kannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkan nya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan sebelumnya .
Begitu juga dengan amalan-ama lan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabatnya , tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan ) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis tahlilan/ yasinan dan lain sebagainya (baca keterangan nya pada bab Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalka n ini mengambil dalil-dali l baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. yang menganjurk an agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dali l tentang pahala-pah ala bacaan dan amalan ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya semuanya mustahab asalkan tidak tidak bertentang an dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi didalam majlis-maj lis (maulidin- Nabi, tahlilan/ yasinan, Istighotsa h) yang sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungk an kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulullah saw. yang semuanya itu dianjurkan oleh Allah SWT. dan Rasul-Nya. Semuanya ini mendekatka n/ taqarrub kita kepada Allah SWT.!!
Mari kita rujuk ayat al-Qur’an:
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْل ُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُو ْا
‘Apa saja yang didatangka n oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadany a, maka berhentila h (mengerjak annya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjaka n sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas laranganny a dari Rasulullah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُو ْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan nya (oleh Rasulullah ), maka berhentila h (mengerjak annya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatk an oleh Bukhori:
فَاجْتَنِب ُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُم ْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَ عْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُ مْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulullah saw. tidak mengatakan :
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِب ُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang diada-adak an (muhdatsah ) adalah… dan hadits Barangsiap a yang didalam agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa keterangan dari Rasulullah saw. didalam hadits-had its yang lain dimana beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintah kan. Maka para ulama menarik kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’a tkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah SWT. (QS Asy-Syura :21) serta prakarsa-p rakarsa yang bertentang an dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw., contohnya yang mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentang an dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulullah saw. diatas yang mengatakan , mengada-ad akan sesuatu itu…. adalah masalah pokok-poko k agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Saya ambil perumpamaa n lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalanga n karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-ad akan agama. Jadi bukan masalah-ma salah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatk an Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْت ُ عَلَيْهِ,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّب ُ أِلَيَّ بِالنّـَوَ افِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِ هِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَه ُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْن َّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذ َنِي لاُعِيْذَن َّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatka n diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatka n diri kepadaKu dengan nawafil (amalan-am alan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintain ya, maka jika Aku telah mencintain ya. Akulah yang menjadi pendengara nnya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihata nnya dan dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindung an kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah SWT. mencintai orang-oran g yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak harus berarti semua/ setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah SWT dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharia n dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.
Ayat ini menunjukka n tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/ seorang hamba yang sholeh sengaja membocorka n perahu orang-oran g miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/ jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/ perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/ setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah SWT.berfir man : “Angin taufan itu telah menghancur kan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gun ung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah SWT.berfir man : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah SWT. berfirman : “Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakan nya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakan nya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah SWT. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah SWT. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulk an pasukan untuk menyerang… .” Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya , tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang memerangi Rasulullah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguh nya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam.. ”. Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirka n bahwa Nabi ‘Isa as dan bundanya yang dipertuhan kan oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuha n mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka bermusyawa rah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah SWT. tidak memerintah kan Rasul-Nya supaya memusyawar ahkan soal-soal keagamaan atau keukhrawia n dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-ora ng kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhn ya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan seterusnya “. Firman Allah ini bersifat umum, sebab Allah SWT. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-ma nusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunaka nnya untuk melihat tanda-tand a kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunaka nnya untuk mendengark an firman-fir man Allah; mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A’r af : 179).
Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun didalamnya terdapat keumuman namun ternyata keumumanny a itu tidak terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatk an oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. Hadits ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu Hajar mengatakan ; ‘ Hadits-had its shahih yang mengenai satu persoalan2 harus dihubungka n satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyarat kan oleh hadits-had its itu semuanya dapat dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam Al-Muwatth a terdapat penegasan Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr rh. dalam At-Tamhid mengatakan : Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulullah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain dikhususka n maksud dan maknanya, demikian pula banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan ; ‘Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan -kekhususa nnya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarka n dalil hadits lainnya maka disimpulka nlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/ sesat ! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadata n saja. Allah SWT. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/ buruk.
Banyak kenyataan membuktika n, bahwa Rasulullah saw. membenarka n dan meirdhoi macam-maca m perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-had its yang telah kami kemukakan diatas. Bagaimanak ah cara kita memahami semua persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan hadits-had its yang lain yang lebih jelas uraiannya (yang menganjurk an manusia selalu berbuat kebaikan) ? Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarann ya oleh jumhurul-u lama. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukka n oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu sebagaiman a yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan lain-lain.
Insya Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-had its Rasulullah saw. masalah Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/ baik. Untuk lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip dalam hal bid’ah ini, silahkan membaca buku Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh H.M.H Al-HAMID – AL-HUSAINI .
6. Qadha (pengganti an) Sholat yang ketinggala n dan dalil-dali l yang berkaitan dengannya
Sebagian golongan muslimin telah membid’ahk an, mengharamk an/mem batalkan mengqadha/ mengganti sholat yang sengaja tidak dikerjakan pada waktunya. Mereka ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan tidak sah orang yang ketinggala n sholat fardhu dengan sengaja untuk menggantin ya/ qadha pada waktu sholat lainnya, mereka harus menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi kekurangan - nya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah terbantah oleh hadits-had its dibawah ini dan ijma’ (kesepakat an) para ulama pakar diantarany a Imam Hanafi, Malik dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang kewajiban qadha bagi yang meninggalk an sholat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Mari kita ikuti beberapa hadits tentang qadha sholat berikut ini
:
- HR.Bukhori
, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksana kan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksana kan)nya, maka kifaratnya (tebusanny a) adalah melakukann ya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqala ny dalam Al-Fath II:71 ketika menerangka n makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalk annya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanak an sholat, dan dia harus melakukann ya…’.
Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah Rasulullah saw. bagi orang yang ketinggala n sholat karena lupa dan tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk sholat yang disengaja ditinggalk an itu malah lebih utama/ wajib untuk menggadhan ya. Maka bagaimana dan darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja ditinggalk an itu tidak wajib/ tidak sah untuk diqadha ?
Begitu juga hadits itu menunjukka n bahwa orang yang ketinggala n sholat karena lupa atau tertidur tidak berdosa hanya wajib menggantin ya. Tetapi orang yang meninggalk an sholat dengan sengaja dia berdosa besar karena kesengajaa nnya meninggalk an sholat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku baginya.
- Rasulullah
saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-ba gikan harta, kemudian sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau saw. sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/ qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhor i, Muslim dari Ummu Salamah).
- Rasulullah
saw. bersabda: ‘Barangsia pa tertidur atau terlupa dari mengerjaka n shalat witir maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’ . (HR.Tirmid zi dan Abu Daud).(dik utip dari at-taj 1:539) - Rasulullah
saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantik annya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikut ip dari at-taj 1:539)
Nah kalau sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat malam yang tidak dikerjakan pada waktunya itu diganti/ diqadha oleh Rasulullah saw. pada waktu setelah sholat Ashar dan waktu-wakt u lainnya, maka sholat fardhu yang sengaja ketinggala n itu lebih utama diganti dari- pada sholat-sho lat sunnah ini.
- HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan
bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulullah saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari punggungny a. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulullah saw. bersabda: Naiklah (ketunggan gan masing-mas ing) dan kami menunggang i (tunggang- an kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan utk melaksanak an sholat (shubuh yang ketinggala n). Rasulullah saw. melakukan sholat sunnah sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw. menaiki tunggangan nya.
Ada sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan) terhadap apa yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurna an shalat kita (at-tafrit h fi ash-sholah )? Kemudian Rasulullah saw. bersabda: ’Bukankah aku sebagai teladan bagi kalian’?, dan selanjutny a beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaa n ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang dinamakan kekurangan dalam pelaksanaa n ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak melakukan (dengan sengaja) sholat sampai datang lagi waktu sholat lainnya….’ . (Juga Imam Muslim meriwayatk an dari Abu Hurairah, dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori dari Imran bin Husain).
Hadits ini tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan lalai/ meng- gampangkan sholat ialah bila meninggalk an sholat dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duan ya wajib menggadha sholat yang ketinggala n tersebut. Dan dalam hadits ini tidak menyebutka n bahwa orang tidak boleh/ haram menggadha sholat yang ketinggala n kecuali selain dari yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutka n tidak ada kelalaian (berdosa) bagi orang yang meninggal- kan sholat karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits larangan untuk menggadha sholat !
- Jabir bin Abdullah ra.meriway
atkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperanga n) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulullah , aku masih melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulullah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwudu untuk (melaksana kan) sholat dan kami pun berwudu untuk melakukann ya. Beliau saw. (melakukan ) sholat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanak an sholat Maghrib. (HR.Bukhor i dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatk annya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha sholat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
- Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25 sholat Qadha’ menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiap
a ketinggala n shalat fardhu maka ia wajib menggantin ya/ menggadhany a. Baik shalat itu ditinggal- kannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Memang terdapat perselisih an antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya), perselisih an antara mereka ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
- Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia)
jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat diterangka n: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalk an sholat itu berdosa dan ia tetap wajib meng- gadhanya. Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalka n (tidak sah) untuk menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangka n panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-had its diatas dan ijma’ para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama pakar lainnya yang mewajibkan qadha atas sholat yang sengaja ditinggal- kan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan madzhab jumhur—pen .).
Kesimpulan :
Kalau kita baca hadits-had its diatas semuanya masalah qadha sholat, dengan demikian buat kita insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/ meng- gantikan sholat yang ketinggala n baik secara disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib, sebagaiman a yang diutarakan oleh ulama-ulam a pakar yang telah diakui oleh ulama-ulam a dunia yaitu Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan antara yang disengaja dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah qadhanya.
Semoga dengan adanya dalil-dali l yang cukup jelas ini bisa menjadikan manfaat bagi kita semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mence la atau merasa pahamnya/ anutannya yang paling benar.
7. Dalil Sholat sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
Sebagian orang telah membid’ahk an sholat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut pandangan mereka hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabat. Padahal kalau kita teliti cukup banyak hadits serta wejangan ulama pakar ahli fiqih dalam madzhab Syafi’i dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan sunnah- nya sholat qabliyah jum’at ini. Mari kita ikuti hadits-had its yang berkaitan dengan sholat sunnah diantarany a :
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim : “Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzanni , ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: ‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama yang dimaksud antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.
Mengenai hadits ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshohih- annya karena dia disamping diriwayatk an oleh Bukhori Muslim juga diriwayat kan oleh Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami bahwa Nabi saw. menganjurk an supaya diantara adzan dan iqamah itu dilakukan sholat sunnah dahulu, termasuk dalam katergori ini sholat sunnah qabliyah jum’at. Tetapi nyatanya para golongan pengingkar tidak mengamalka n amalan sunnah ini karena mereka anggap amalan bid’ah.
Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18: “Diriwayat kan dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya beliau melakukan shalat sunnah qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan sholat ba’diyah (setelah) jum’at sebanyak empat raka’at pula”.
Abdullah bin Mas’ud merupakan sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua, dipercayai oleh Nabi sebagai pembawa amanah sehingga beliau selalu dekat dengan nabi saw. Beliau wafat pada tahun 32 H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau saw. mengamal- kan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil dari sunnah Nabi saw.
Penulis kitab Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jama’a h setelah mengutip riwayat Abdullah bin Mas’ud tersebut mengatakan : “Secara dhohir (lahiriyah ) apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah berdasarka n petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw.”
Dalam kitab Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri dan Ibnul Mubarak beramal sebagaiman a yang diamalkan oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).
Hadits riwayat Abu Daud: “Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya ia senantiasa memanjangk an shalat qabliyyah jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia menceriter akan bahwasanya Rasulullah saw. senantiasa melakukan hal yang demikian”.(Nailul Authar III/313).
Penilaian beberapa ulama mengenai hadits terakhir diatas ialah : Imam Syaukani berkata: ‘Menurut Hafidz al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya shohih’. ; Hafidz Ibnu Mulqin dalam kitabnya yang berjudul Ar-Risalah berkata: ‘Isnadnya shohih tanpa ada keraguan’. ; Imam Nawawi dalam Al-Khulash ah mengatakan : ‘Hadits tersebut shohih menurut persyarata n Imam Bukhori. Juga telah dikeluarka n oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya’ .
Hadits riwayat Ibnu Majah : “Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir, keduanya berkata; Telah datang Sulaik al-Ghathfa ni diketika Rasulullah saw. tengah berkhutbah (khotbah jum’at). Lalu Nabi saw. bertanya kepada- nya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi saw. bersabda; ‘Shalatlah kamu dua raka’at dan ringkaskan shalatmu itu’ “. (Nailul Authar III/318).
Jelas sekali dalam hadits ini bagaimana Rasulullah saw. menganjurk an (pada orang itu) shalat sunnah qabliyyah jum’at dua raka’at sebelum duduk mendengark an khutbah. Juga dalam menerangka n hadits ini Syeikh Syihabuddi n al-Qalyubi wafat 1070H mengatakan ; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan shalat tahiyyatul masjid. Hal ini dikarenaka n tahiyyatul masjid tidak boleh dikerjakan dirumah atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di masjid.
Syeikh Umairoh berkata: Andai ada orang yang mengatakan bahwa yang disabdakan oleh Nabi itu mungkin sholat tahiyyatul masjid, maka dapat dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilaku- kan diluar masjid, sedangkan nabi saw. (waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat sebelum (dirumahny a) datang kesini ? (Al-Qalyub i wa Umairoh 1/212).
Begitu juga Imam Syaukani ketika mengomenta ri hadits riwayat Ibnu Majah tersebut mengatakan dengan tegas :
Sabda Nabi saw. ‘sebelum engkau datang kesini’ menunjukka n bahwa sholat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan sholat sunnah tahiyyatul masjid“.(N ailul Authar III/318)
Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu Imam Syaukani berkata ; ‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-per awinya adalah orang kepercayaa n’. Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata: ‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani: “Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda : ‘Tidak ada satupun sholat yang fardhu kecuali disunnahka n sebelumnya shalat dua raka’at’ “. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa disunnahka n juga shalat qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan .
Mengenai derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi mengatakan : ‘Ini adalah hadits shohih’ dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shohih’. Sedang- kan Syeikh al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pegang- an dalam hal disyariatk annya sholat sunnah dua raka’at qabliyyah jum’at adalah hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu Hibban yakni hadits Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambun g sanadnya sampai kepada Nabi saw.) yang artinya: ‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali disunnahka n sebelumnya shalat dua raka’at’ “.
Demikianla h beberapa hadits yang shohih diatas sebagai dalil disunnah- kannya sholat qabliyyah jum’at.
Sedangkan kesimpulan beberapa ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang hukum sholat sunnah qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kita b mereka ialah :
Hasiyah al-Bajuri 1/137 :
“Shalat jum’at itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang disunnahka n untuknya. Maka disunnahka n sebelum jum’at itu empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 :
“Disunnahk an shalat sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at qabliyyah dan dua raka’at ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang lebih sempurna adalah empat raka’at qabliyyah dan empat raka’at ba’diyyah’ .
Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini 1/99 :
“Jum’at itu sama seperti shalat Dhuhur.Dis unnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi :
“Disunnahk an shalat sebelum Jum’at sebagaiman a shalat sebelum Dzuhur”.
Begitu juga masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai sunnahnya sholat qabliyyah jum’at ini.
Dengan keterangan -keteranga n singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami bahwa ini semua adalah sunnah Rasulullah saw., bukan sebagai amalan bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah SWT.
8. Dalil mengangkat tangan waktu berdo’a
Sebagian golongan ada yang membid’ahk an mengangkat kedua tangan waktu berdo’a. Sebenarnya ini sama sekali tidak ada larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa Rasulullah saw. mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga ulama-ulam a pakar dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagainya ) selalu mengangkat tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab atau tata tertib cara berdo’a kepada Allah SWT.
Dalam kitab Riyaadus Shalihin jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh Almarhum H.Salim Bahreisj cetakan keempat tahun 1978 meriwayatk an sebuah hadits berikut ini:
Sa’ad bin Abi Waqqash ra.berkata : Kami bersama Rasulullah saw. keluar dari Makkah menuju ke Madinah, dan ketika kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulullah saw. turun dari kendaraann ya, kemudian mengangkat kedua tangan berdo’a sejenak lalu sujud lama sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya berdo’a, kemudian sujud kembali, diulanginy a perbuatan itu tiga kali. Kemudian berkata: ‘Sesungguh nya saya minta kepada Tuhan supaya di-izinkan memberikan syafa’at (bantuan) bagi ummat ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku, kemudian saya mengangkat kepala dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenan kan untuk sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat kepala berdo’a minta untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku’. (HR.Abu Dawud).
Dalam hadits ini menerangka n bahwa Rasulullah saw. tiga kali berdo’a sambil mengangkat tangannya setiap berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan adalah termasuk sunnah Rasulullah saw.
Dalam Kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 4 cetakan pertama tahun 1978 halaman 274-275 diterbitka n oleh PT Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini ditulis sebagai berikut :
Berdasarka n riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas ra., katanya :
“Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah SWT.) hendaklah dengan mengangkat kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira setentangn ya, dan jika istiqhfar (mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemar i tangan”.
Malah dalam hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a, dan waktu mengangkat tangan tersebut disunnahka n dengan menunjuk sebuah jari waktu mohon ampunan, melepas semua jari-jari tangan (membuka telapak tangannya) waktu berdo’a selain istighfar.
Diriwayatk an dari Malik bin Yasar bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Jika kamu meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak tanganmu, jangan dengan punggungny a !” Sedang dari Salman, sabda Nabi saw. : “Sesungguh nya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkan tangan (untuk berdo’a) kepada-Nya , akan menolaknya dengan tangan hampa”.
Lihat hadits ini Allah SWT. tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu berdo’a sambil menadahkan tangan kepadaNya, dengan demikian do’a kita akan lebih besar harapan dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan hadits yang diriwayatk an Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. menuturkan :
“Aku pernah melihat Rasulullah saw. mengangkat dua tangan keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-pu tihan pada ketiak beliau”.
Masih ada hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan hadits-had its diatas ini, cukup buat kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a kepada Allah SWT. Bagi saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan waktu berdo’a, silahkan, tapi janganlah mencela atau membid’ahk an saudara muslim lainnya yang mengangkat tangan waktu berdo’a !. Karena mengangkat tangan waktu berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a kepada Allah SWT. dan hal ini diamalkan oleh para salaf dan para ulama pakar (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyall ahu ‘anhum– dan para imam lainnya).
Janganlah kita cepat membid’ahk an sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan mengenyamp ingkan hadits lainnya. Semuanya ini amalan-ama lan sunnah, siapa yang mengamalka n tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak mengamalka n hal tersebut juga tidak berdosa. Karena membid’ahk an sesat sama saja mengharamk an amalan tersebut.
9. Menyebut nama Rasulullah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana
Sebagian orang membid’ahk an panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan nama Muhammad Rasulullah saw., dengan alasan bahwa Rasulullah saw. sendiri yang menganjurk an kepada kita tanpa mengagung- agungkan dimuka nama beliau saw. Memang golongan ini mudah sekali membid’ahk an sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-had its Rasulullah saw. yang berkaitan dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul- Mahabbah Wa Ta’dzimul- Maqam Fis-Shalat i Was-Salam ‘AN Sayyidil-A nam dengan tegas mengatakan : Menyebut nama Rasulullah saw. dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw. Sebab kata tersebut menunjukka n kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau. Allah SWT.memeri ntahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat Rasulullah saw., menghormat i dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaiman a kita menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulullah saw. Allah SWT.berfir man :
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (QS.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi mengatakan : Makna ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulullah saw. cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggiln ya dengan penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungann ya. Demikianla h yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau saw.tanpa menunjukka n penghormat an dan pemuliaan kita kepada beliau saw., baik dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah SWT. Yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahk an ayat tersebut berarti tidak mengindahk an larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirka n ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu (An-Nur:63 ) Allah memerintah kan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungk an Rasulullah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathi t-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan : Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulullah atau Ya Nabiyullah . Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bar i syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang diriwayatk an oleh Ad-Dhahhak , bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulullah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan lain sebagainya . Dengan menurunkan ayat itu Allah SWT. melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulullah saw. dengan ucapan-uca pan tadi. Mereka kemudian menggantin ya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyallah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunaka n sebutan atau panggilan sebagaiman a yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyara tkan makna tersebut diatas. Antara lain firman Allah SWT. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyira h : 4 dan lain sebagainya . Dalam ayat-ayat ini Allah SWT. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan Rasulullah saw., bahkan menyebut mereka sebagai orang-oran g yang beruntung. Juga firman Allah SWT. mengajarka n kepada kita tatakrama yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-fir man Allah SWT. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktika n bahwa Allah SWT. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulullah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali dengan kata yang menunjuk- kan penghormat an, seperti sayyidina tidak sesuai dengan pengagunga n yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imra n:39 Allah SWT. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarka n kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid (terkemuka , panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-oran g sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut orang-oran g yang menjerumus kan mereka dengan istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah SWT.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhn ya kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa ) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatka n kami dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahza b:67).
Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid, sebagaiman a yang terdapat dalam firman Allah SWT. dalam surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duan ya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya . Banyak terdapat didalam Al-Qur’anu l-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana seorang maula (pelindung ) tidak dapat memberi manfaat apa pun kepada maula (yang dilindungi nya) dan mereka tidak akan tertolong” .
Juga dalam firman Allah SWT. dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah SWT., Rasul dan orang yang beriman.
Jadi kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseoranga lasan apa yang dapat digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad saw.
Demikian pula soal penggunaan kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang Nabi yang diimani dan dicintainy a dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintah an, kepada para president, para raja atau menteri, atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak dituduh berbuat bid’ah? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan , bahwa sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. itu sesungguhn ya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat beliau saw. Atau sekurang-k urang hendak menyamakan kedudukan dan martabat beliau saw. dengan manusia awam/ biasa.
Sebagaiman a kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama Rasulullah saw. tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutka n dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw.). Menyebut nama Rasulullah dengan cara demikian menunjukka n sikap tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkut an. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh orang-oran g diluar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain sebagainya . Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.
Banyak hadits-had its shohih yang menggunaka n kata sayyid, beberapa diantarany a ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluargany a (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahab i).
Jadi kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi martabatny a dan paling mulia kedudukann ya disisi Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam shohih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw. memberitah u para sahabatnya , bahwa pada hari kiamat kelak Allah SWT. akan menggugat hamba-hamb aNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliaka n dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usaw.widuk a?)
Makna hadits itu ialah, bahwa Allah SWT. telah memberikan kemuliaan dan kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatny a daripada manusia lainnya ? Kalau manusia-ma nusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulullah saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula ?
Dalil-dali l orang yang membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduu nii fis-shalah ” artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad saw.) sayyid didalam sholat”. Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulullah saw. untuk mempertaha nkan pendiriann ya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak ada kemungkina n sama sekali Rasulullah saw.menguc apkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuann ya. Namun untuk lebih kuat membuktika n kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi , atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjawab tegas : “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashi dul-Al-Has anah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “
Imam Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur -Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsam i, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainn ya, semuanya mengatakan : “Hadits itu sama sekali tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzim uunii fil-masjid ” artinya ; “Jangan mengagungk an aku (Nabi Muhammad saw.) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengata- kan: “Itu bathil !”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘If ah menyatakan tentang hadits ini: “Kebohonga n yang diada-adak an”.
Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungk an aku di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulullah saw. atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang hadits-had its yang menggunaka n kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatk an oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulullah saw.bersab da : “Aku sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang dipimpinny a.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan , bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan , bahwa Rasulullah saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatk an oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudz i, Rasulullah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber riwayat lain yang diketengah kan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim, mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulullah saw. sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunann ya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku sayyid dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaiman a tercantum didalam kitab Dala’ilun- Nubuwwah mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitk an kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatk an oleh Al-Khatib mengatakan , bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang mengisyara tkan keharusan menyebut nama Rasulullah saw. diawali dengan kata sayyidina diketengah kan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadr ak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada suatu hari kulihat Rasulullah saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatka n puji syukur kehadirat Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulullah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mut thalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini menjelaska n kepada kita bahwa Rasulullah saw. lebih suka kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukka n perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.
Semua hadits tersebut diatas menunjukka n dengan jelas, bahwa Rasulullah saw. adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam (al-‘alama in), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa menggunaka n kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw.
– Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetenga hkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya : “Barangsia pa aku menjadi maula-nya (pemimpinn ya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulullah saw. adalah sayyidina dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitn ya (keluargan ya), semua adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatk an bahwa Rasulullah saw. pernah berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum orang-oran g yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’mininat au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-oran g yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatk an oleh Ibnu Sa’ad, Rasulullah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianla h pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulullah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyalla hu ‘anhuma. Imam Bukhori dan At-Turmudz i meriwayatk an sebuah hadits yang berisnad shohih bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarka n hadits-had its diatas itu kita menyebut puteri Rasulullah saw. Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatun a. Demikianla h pula terhadap dua orang cucu Rasulullah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyalla hu ‘anhuma.
– Ketika Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendara an keledai, saat itu Rasulullah saw. berkata kepada orang-oran g yang hadir: “Guumuu ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirila h menghormat i sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulullah saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit
sementara fihak menafsirka n mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya , karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulullah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun –misalnya– Rasulullah saw. melarang para sahabatnya berdiri menghormat i beliau saw., tetapi beliau sendiri malah memerintah kan mereka supaya berdiri menghormat i Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang dikehendak i oleh Rasulullah saw. dengan larangan dan perintahny a mengenai soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara terang-ter angan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib menghormat i ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian juga Rasulullah saw. sekalipun beliau menyadari kedudukan dan martabatny a yang sedemikian tinggi disisi Allah SWT, beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung- agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulullah saw., harus merasa wajib menghormat i, memuliakan dan mengagungk an beliau saw.
Allah SWT. berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-oran g yang beriman, Nabi (Muhammad saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan : Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulullah saw. lebih utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah SWT. memberi hidayah kepada kita semua. Amin
– Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-oran g yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapka n shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapka n shalawat dengan sebaik-bai knya. Kalian tidak tahu bahwa sholawat itu akan disampaika n kepada beliau saw., karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanl ah shalawat-M u, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-M ursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulullah ) dan Imamul-Mut taqin (Panutan orang-oran g bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga menggunaka n kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-mas ing, sebagai tanda saling hormat-men ghormati dan harga-meng hargai. Didalam Al-Mustadr ak Al-Hakim mengetenga hkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassa lam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulullah saw. menyebutny a (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-F alah mengenai pembicaraa nnya soal sholawat Nabi mewanti-wa nti pembacanya sebagai berikut: “Hendak- nya anda berhati-ha ti jangan sampai meninggalk an lafadz sayyidina dalam bersholawa t, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalka nnya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama pakar cara sebaik-bai knya membaca sholawat pada Rasulullah saw. yang tidak tercantum disini.
Nah, kiranya cukuplah sudah uraian diatas mengenai penggunaan kata sayyidina atau maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi yang menerangka n persoalan itu yakni menggunaka n kata awalan sayyid, apakah masih ada yang bersikeras tidak mau menggunaka n kata sayyidina dalam menyebut nama beliau saw.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang demikian itu hendak mengingkar i martabat Rasulullah saw. sebagai Sayyidul-M ursalin (penghulu para Rasulullah ) dan Habibu Rabbil-‘al amin (Kesayanga n Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang yang berani membid’ahk an penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama beliau saw.? Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan pengingkar ini sendiri yang memanggil nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar mereka dipanggil sayyid dimuka nama mereka !
10. Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat.
Sering yang kita dengar dari golongan muslimin diantarany a dari madzhab Wahabi/ Salafi dan pengikutny a yang melarang orang menggunaka n Tasbih waktu berdzikir. Sudah tentu sebagaiman a kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sam pai berani membid’ahk an sesat karena menurut paham mereka bahwa Rasulullah saw. para sahabat tidak ada yang menggunaka n tasbih waktu berdzikir !
‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘Subhah’ adalah butiran-bu tiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya dzikir yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari kebiasaan orang-oran g Hindu. Ada pula orang yang mengatakan bahwa pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India. Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunaka n tasbih menurut hitungan Wisnuisme, yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga menggunaka n tasbih, meniru biksu-biks u Budha. Semuanya ini terjadi pada zaman sebelum islam.
Kemudian datanglah Islam, suatu agama yang memerintah kan para pemeluk nya untuk berdzikir (ingat) juga kepada Allah SWT. sebagai salah satu bentuk peribadata n untuk mendekatka n diri kepada Allah SWT.. Perintah dzikir bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak terikat juga oleh keadaan-ke adaan tertentu. Banyak sekali firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi, umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya .
Sehubungan dengan itu terdapat banyak hadits yang menganjurk an jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali dengan ucapan Subhanalla h, tiga puluh tiga kali Alhamdulil lah dan tiga puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’. Kecuali itu terdapat pula hadits-had its lain yang menerangka n keutamaan berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan adanya hadits-had its yang menetapkan jumlah dzikir seperti itu maka dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlahnya yang pasti.
Hadits-had its yang berkaitan dengan cara menghitung dzikir
Hadits yang diriwayatk an oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan :
“Rasululla h saw. menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menyaranka n para sahabatnya supaya mengikuti cara beliau saw.”. Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatk an sebuah hadits berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata:
“Hendaklah kalian senantiasa bertasbih (berdzikir), bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an Allah SWT.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta berbicara” .
Perhatikan lah: Anjuran menghitung dengan jari dalam hadits itu tidak berarti melarang orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk mengharamk an atau memunkarka n suatu amalan haruslah mendatangk an nash yang khusus tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja!!
Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatk an sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang mengatakan : “Bahwa pada suatu saat Rasulullah saw. datang kerumahnya . Beliau melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunak an untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; ‘Sesungguh nya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulullah , ajarilah aku’. Rasulullah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Ny a’ ”. (Hadits shohih).
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatk an sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. yang mengatakan :
“Bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang biasa dipergunak an oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/ utama ?’ Sebut sajalah kalimat-ka limat sebagai berikut :
‘Subhanall ahi ‘adada maa kholaga fis samaai, subhanalla hi ‘adada maa kholaga fil ardhi, subhanalla hi ‘adada maa baina dzaalika, Allahu akbaru mitslu dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa laa ilaaha illallahu mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi mitslu dzaalika’ ”.
Yang artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Ny a yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak makhluk-Ny a yang dibumi, Maha suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Ny a. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi, Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’ “.
Lihat dua hadits diatas ini, Rasulullah saw. melihat Shofiyyah menggunaka n biji kurma untuk menghitung dzikirnya, beliau saw. tidak melarangny a atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan jari-jarin ya, malah beliau saw. berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang menggunaka n batu kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak mengatakan kepada wanita itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarim u !
Beliau saw. malah mengajarka n kepada mereka berdua bacaan-bac aan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulullah saw. jadi terserah kemampuan mereka.
Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan kaum salaf yang sholeh pun menggunaka n biji kurma, batu-batu kerikil, bundelan-b undelan benang dan lain sebagainya untuk menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata tidak ada orang yang menyalahka n atau membid’ahk an sesat mereka !!
Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya meriwayatk an bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukaka n juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus Shahabah; ”‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulullah saw. menghampar kan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkir kannya. Seusai sholat dhuhur ia mengambiln ya lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.
Abu Dawud meriwayatk an; ‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil. Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitung nya dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunak an, hamba sahayanya menyerahka n kembali batu-batu kerikil itu kepadanya’ .
Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan ; ‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud mengemukak an; ‘bahwa Abu Darda ra. mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu dikeluarka n satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’
.
Abu Syaibah juga mengatakan ; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri.
Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsa lah Abdulbaqi mengetenga hkan sebuah riwayat yang mengatakan ; ‘bahwa Fathimah binti Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelanny a untuk menghitung dzikir.
Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarra d mengatakan ; “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung raka’at-ra ka’at sholat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’ “.
Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul- Auliya mengatakan : ‘Banyak sekali orang-oran g keramat yang menggunaka n tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulan i dan lain-lain’ .
Menurut riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunak an orang mulai abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunanaka n untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip keterangan dari gurunya didalam kitab Tajul-‘Aru s . Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunak an orang dimana-man a. Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya pada seorang Waliyullah yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang mendekatka n diriku kepada Allah SWT. tidak akan kutinggalk an’.(Ar-Risal ah Al-Qusyari yyah).
Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf (generasi muslimin berikutnya ) yang menyebutka n adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang disebut-se but dalam hadits-had its shohih. Bentuk tasbih ini malah lebih praktis dan mudah dibandingk an pada masa zaman nya Rasulullah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga untuk menghitung jumlah dzikir agama Islam tidak menetapkan cara tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-mas ing orang yang berdzikir.
Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat menghitung yang tidak yang dilarang menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. itu mustahab/ baik untuk diamalkan. Berdasarka n riwayat-ri wayat hadits yang telah dikemukaka n diatas jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap menggunaka n tangan atau jarinya juga, bukan menggunaka n kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar maupun kaum muslimin lainnya sering menggunaka n tasbih bila berdzikir.
Jadi masalah menghitung dengan butiran-bu tiran tasbih sesungguhn ya tidak perlu dipersoalk an, apalagi kalau ada orang yang menganggap nya sebagai ‘bid’ah dholalah’. Yang perlu kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari tanpa menggunaka n tasbih ataukah dengan menggunaka n tasbih ?
Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih afdhal/ utama. Akan tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah hitung dengan menggunaka n jari, itulah yang afdhal. Jika tidak demikian maka mengguna- kan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga diketahui, bahwa menghitung dzikir dengan tasbih disunnahka n menggunaka n tangan kanan, yaitu sebagaiman a yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut dalam hadits-had its yang diriwayatk an oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dalam soal dzikir yang paling penting dan wajib diperhatik an baik-baik ialah kekhusyu’a n, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati mengikutin ya. Maksudnya bila lisan mengucapka n Subhanalla h maka dalam hati juga memantapka n kata-kata yang sama yaitu Subhanalla h. Allah SWT. melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah dholalah/ sesat dn lain sebagainya ??? Semoga Allah SWT. memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.
Semoga dengan keterangan sebelumnya mengenai akidah golongan Wahabi/ Salafi serta pengikutny a dan keterangan bid’ah yang singkat ini insya-Alla h bisa membuka hati kita masing-mas ing agar tidak mudah mensesatka n, mengkafirk an dan sebagainya pada saudara muslim kita sendiri yang sedang melakukan ritual-rit ual Islam begitu juga yang berlainan madzhab dengan madzhab kita.
11. Bagaimana hukum menyuguhka n makanan baik kepada para jamaah yang datang membacakan tahlil bagi si mayit maupun bagi para pentakziah ?
Ada dua pendapat di kalangan ulama berkaitan dengan hukum menyuguhka n makanan dari pihak keluarga si mayit kepada para jamaah tahlilan maupun orang-oran g yang datang bertakziya h.
a. Pendapat yang menyatakan makruh. Hal ini didasarkan pada dua hadits:
Pertama, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali yang diriwayatk an oleh Ahmad dan Ibn Majah dengan sanad yang shahih. Jarir bin Abdullah berkata: "Kami menganggap berkumpul pada keluarga mayit dan penyuguhan makanan dari pihak keluarga mayit bagi mereka (yang berkumpul) termasuk niyahah (ratapan). " Berdasarka n hadits ini, para ulama madzhab Hanafi berpendapa t makruh memberikan makanan pada hari pertama, kedua, ketiga dan setelah tujuh hari kepada pentakziya h sebagaiman a ditegaskan oleh al-Imam Ibn Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar juz 2 hlm. 240.
Kedua, Hadits riwayat al-Tirmidz i, al-Hakim dan lain-lainn ya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Buatkan makanan bagi keluarga Ja'far, karena mereka sekarang sibuk mendengar kematian Ja'far." Para ulama berpendapa t, bahwa yang disunnatka n sebenarnya adalah tetangga keluarga mayit atau kerabat-ke rabat mereka yang jauh membuatkan makanan bagi keluarga mayit yang sedang berduka, yang cukup bagi kebutuhan mereka dalam waktu selama sehari semalam. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas fuqaha, dan mayoritas ulama madzahib al-arba'ah . Dan ini juga merupakan praktek warga Nahdliyin, saat ada tetangga meninggal, maka para tetangga takziyah dengan membawa beras, uang serta membantu memasak untuk keluarga musibah dan memasak bagi yang bertakziah yang mana makanan itu berasal dari tetangga2 sekitar dan sama sekali tidak mengambil harta dari keluarga musibah.
b. Ulama yang lain berpendapa t bolehnya menyuguhka n makanan dari pihak keluarga mayit bagi para jamaah tahlilan maupun para pentakziya h, meskipun pada masa-masa tiga hari hari pertama pra meninggaln ya si mayit. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil antara lain:
Pertama, Ahmad bin Mani' meriwayatk an dalam Musnad-nya dari jalur al-Ahnaf bin Qais yang berkata: "Setelah Khalifah Umar bin al-Khathth ab ditikam, maka beliau menginstru ksikan agar Shuhaib yang bertindak sebagai imam shalat selama tiga hari dan memerintah kan menyuguhka n makanan bagi orang-oran g yang datang bertakziya h." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini bernilai hasan. (Lihat al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathali b al-'Aliyah fi Zawaid al-Masanid al-Tsamani yah, juz 1, hlm. 199, hadits no. 709).
Kedua, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatk an dalam kitab al-Zuhd dari al-Imam Thawus (ulama salaf dari generasi tabi'in), yang berkata: "Sesungguh nya orang-oran g yang meninggal dunia itu diuji oleh di dalam kubur mereka selama tujuh hari. Mereka (para generasi salaf) menganjurk an mengeluark an sedekah makanan untuk mereka selama tujuh hari tersebut." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini kuat (shahih). (Lihat, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathali b al-'Aliyah , juz 1, hlm. 199, hadits no. 710).
Ketiga, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallah u ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku melihat Rasulullah shallallah u ‘alayhi wa sallam berada diatas kubur berpesan kepada penggali kubur : “perluaska nlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga luaskanlah pada bagian kepalanya” , Maka tatkala telah kembali dari kubur, seorang wanita (istri mayyit, red) mengundang (mengajak) Rasulullah , maka Rasulullah datang seraya didatangka n (disuguhka n) makanan yang diletakkan dihadapan Rasulullah , kemudian diletakkan juga pada sebuah perkumpula n (qaum/ sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat Rasulullah shallallah u ‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan bersabda:
“aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya ”. Kemudian wanita itu berkata : “wahai Rasulullah , sesungguhn ya aku telah mengutus ke Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukann ya, maka aku mengutus kepada tetanggaku untuk membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk membelinya ) dan ia kirim kambing itu kepadaku, maka Rasulullah shallallah u ‘alayhi wa sallam bersabda : “berikanla h makanan ini untuk tawanan”. (Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaq i no. 10825 ; hadits ini shahih ; Misykaatul Mafatih [5942] At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih syarh Misykah al-Mashabi h [5942] karangan al-Mulla ‘Alial-Qar i, hadits tersebut dikomentar i shahih. Lebih jauh lagi, didalam kitab tersebut disebutkan dengan lafadz berikut :
(استقبله داعي امرأته) ، أي: زوجة المتوفى
“Rasululla h menerima ajakan wanitanya, yakni istri dari yang wafat”.)
12. Hukum Duduk Bersama Untuk Berdzikir
Alhamdulil lah, di bumi Sunni Syafi`i, Indonesia ini masih banyak umat Islam yang mengamalka n ajaran Nabi saw., antara lain yang disebutkan dalam hadits hasan riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda : Maa qa`ada qaumun lam yadzkurull aha fiihi walam yushallu `alan nabiyyi shallallah u alaihi wasallam, illaa kaana alaihim hasratan yaumal qiyaamah, (tidaklah suatu kaum yang duduk di suatu tempat, dan tidak berdzikir kepada Allah dan tidak pula bershalawa t untuk Nabi saw., kecuali mereka akan ditimpa penyesalan pada hari kiamat). Yang dinamakan kaum dalam hadits di atas adalah sekelompok orang yang duduk bersama dalam suatu majelis. Jika saja yang dimaksudka n adalah perorangan , maka Nabi saw. cukup mengatakan maa qa`ada rajulun (tidaklah seseorang yang duduk), tetapi Nabi saw. mengatakan qaumun (suatu kaum).
Artinya baik mereka membacanya secara sendiri-se ndiri maupun bersama-sa ma, bahkan pemahaman yang lebih dekat dengan kebenaran, adalah secara bersama-sa ma, baik dengan suara pelan dan lirih, yang hanya dapat didengarka n oleh dirinya sendiri, maupun dengan mengangkat suara secara wajar sehingga terdengar suara lantunan-l antunan dzikir yang menentramk an jiwa, hal ini sama seperti yang dilakukan umat Islam di saat menggemaka n takbiran di malam Hari Raya secara bersama-sa ma dengan suara keras. Semua cara dalam menghidupk an majelis dzikir dan shalawat yang dilakukan oleh suatu kaum secara bersama-sa ma, tidak ada larangan secara spesifik baik dari Alquran maupun hadits shahih manapun.
Karena itu, kegiatan masyarakat Indonesia yang marak dilakukan di pedesaan, perkampung an, maupun perkotaan dalam mengadakan majelis dzikir kepada Allah, majelis shalawat untuk Nabi saw., maupun majelis ta`lim untuk memahami ajaran syariat Islam adalah sudah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.
Jadi mari kita bersama-sa ma lestarikan majelis dzikir, majelis shalawat dan majelis ta`lim di wilayah kita masing-mas ing, agar tidak ada penyesalan pada hari Qiyamat nanti.
13. Dalil Nyekar Bunga Di Kuburan
Barangkali telinga masyarakat Indonesia tidaklah asing dengan istilah nyekar. Adapun arti nyekar adalah menabur beberapa jenis bunga di atas kuburan orang yang diziarahin ya, seperti menabur bunga kamboja, mawar, melati, dan bunga lainnya yang beraroma harum. Ada kalanya yang diziarahi adalah kuburan sanak keluarga, namun tak jarang pula kuburan orang lain yang dikenalnya . Nabi saw. sendiri pernah berziarah kepada dua kuburan muslim yang sebelumnya tidak dikenal oleh beliau saw.
Sebagaiman a diriwayatk an oleh Imam Bukhari, bahwasanny a suatu saat Nabi SAW. melewati dua kuburan muslim, lantas beliau SAW. bersabda: Sesungguhn ya kedua orang ini sedang disiksa, keduanya disiksa bukanlah karena suatu masalah yang besar, tetapi yang satu terbiasa bernamimah (menfitnah dan mengadu domba), sedangkan yang satu lagi terbiasa tidak bersesuci (tidak cebok) jika habis kencing. Kemudian beliau saw. mengambil pelepah kurma yang masih segar dan memotongny a, untuk dibawa saat menziarahi kedua kuburan tersebut, lantas beliau saw. menancapka n potongan pelepah kurma itu di atas dua kuburan tersebut pada bagian kepala masing-mas ing, seraya bersabda : Semoga Allah meringanka n siksa dari kedua mayyit ini selagi pelepah korma ini masih segar. Hadits ini juga diriwayatk an oleh Imam Muslim pada Kitabut Thaharah (Bab Bersuci).
Berkiblat dari hadits shahih inilah umat Islam melakukan ajaran Nabi saw. untuk menziarahi kuburan sanak famili dan orang-oran g yang dikenalnya untuk mendoakan penduduk kuburan. Dari hadits ini pula umat Islam belajar pengamalan nyekar bunga di atas kuburan.
Tentunya kondisi alam di Makkah dan Madinah saat Nabi saw. masih hidup, sangat berbeda dengan situasi di Indonesia. Maksudnya, Nabi saw. saat itu melakukan nyekar dengan menggunaka n pelepah kurma, karena pohon kurma sangat mudah didapati di sana, dan sebaliknya sangat sulit menemui jenis pepohonan yang berbunga. Sedangkan masyarakat Indonesia berdalil bahwa yang terpenting dalam melakukan nyekar saat berziarah kubur, bukanlah faktor pelepah kurmanya, yang kebetulan sangat sulit pula ditemui di Indonesia , namun segala macam jenis pohon, termasuk juga jenis bunga dan dedaunan, selagi masih segar, maka dapat memberi dampak positif bagi mayyit yang berada di alam kubur, yaitu dapat memperinga n siksa kubur sesuai sabda Nabi saw.
Karena Indonesia adalah negeri yang sangat subur, dan sangat mudah bagi masyarakat untuk menanam pepohonan di mana saja berada, ibarat tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Maka masyarakat Indonesia- pun menjadi kreatif, yaitu disamping mereka melakukan nyekar dengan menggunaka n berbagai jenis bunga dan dedaunan yang beraroma harum, karena memang banyak pilihan dan mudah ditemukan di Indonesia, maka masyarakat juga rajin menanam berbagai jenis pepohonan di tanah kuburan, tujuan mereka hanya satu yaitu mengamalka n hadits Nabi SAW., dan mengharapk an kelanggeng an peringanan siksa bagi sanak keluarga dan handai taulan yang telah terdahulu menghuni tanah pekuburan. Karena dengan menanam pohon ini, maka kualitas kesegarann ya pepohonan bisa bertahan relatif sangat lama.
Memang Nabi SAW. tidak mencontohk an secara langsung penanaman pohon di tanah kuburan. Seperti halnya Nabi SAW. juga tidak pernah mencontohk an berdakwah lewat media cetak, elektronik , bahkan lewat dunia maya, karena situasi dan kondisi saat itu tidak memungkink an Nabi SAW. melakukann ya. Namun para ulama kontempore r dari segala macam aliran pemahaman, saat ini marak menggunaka n media cetak, elektronik , dan internet sebagai fasilitas penyampaia n ajaran Islam kepada masyarakat luas, tujuannya hanya satu yaitu mengikuti langkah dakwah Nabi SAW., namun dengan asumsi agar dakwah islamiyah yang mereka lakukan lebih menyentuh masyarakat luas, sehingga pundi-pund i pahala bagi para ulama dan da’i akan lebih banyak pula dikumpulka n. Yang demikian ini memang sangat memungkink an dilakukan pada jaman modern ini.
Jadi, sama saja dengan kasus nyekar yang dilakukan masyarakat muslim di Indonesia, mereka bertujuan hanya satu, yaitu mengikutij ejak nyekarnya Nabi SAW., namun mereka mengingink an agar keringanan siksa bagi penghuni kuburan itu bisa lebih langgeng, maka masyarakt- apun menanam pepohonaan di tanah pekuburan, hal ini dikarenaka n sangat memungkink an dilakukan di negeri yang bertanah subur ini, bumi Indonesia dengan penduduk muslim asli Sunny Syafii.
Ternyata dari satu amalan Nabi dalam menziarahi dua kuburan dari orang yang tidak dikenal, dan memberikan solusi amalan nyekar dengan penancapan pelepah korma di atas kuburan mayyit, dengan tujuan demi peringasna n siksa kubur yang tengah mereka hadapi, menunjukka n bahwa keberadaan Nabi SAW. adalah benar-bena r rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam, termasuk juga alam kehidupan dunia kasat mata, maupun alam kubur, bahkan bagi alam akhirat di kelak kemudian hari.
(Literatur tunggal: Kitab Tahqiiqul Aamal fiima yantafiul mayyitu minal a`maal, karangan Abuya Sayyid Muhammad Alwi Almaliki Alhasani, Imam Ahlussunna h wal Jamaah Abad 21)
14. Dalil Tentang Bolehnya Bertabaruk
Bertabarru k yang dimaksud di sini, adalah seseorang yang sengaja mencari (Jawa : ngalap) barakah dari sesuatu yang diyakini baik, dan tidak bertentang an dengan syariat Islam.Adak alanya dengan mengambi sesuatu, atau mengusap sesuatu, atau meminum sesuatu, atau sesuatu, bahkan melakukan sesuatu dengan tujuan mencari barakah.Ad a seseorang yang menjalanka n bisnis milik orang lain tanpa meminta sedikitpun bayaran atau keuntungan dari bisnisnya itu, sebab ia hanya ingin mencari barakah, karena si pemilik modal tiada lain adalah kiai/ ustadz/ guru agama-nya. Ada juga yang sengaja mencium tangan atau bahkan dada seseorang yang dianggap shaleh maupun `alim dengan tujuan mencari barakah. Atau mendatangi seorang yang shaleh dengan membawa air lantas minta dibacakan surat Alfatihah atau doa kesembuaha n dan sebagainya , senuanya itu bertujuan mencari barakah. Demikian dan seterusnya .
Adapun amalan-ama lan yang tertera di atas adalah menirukan perilaku para shahabat Nabi saw. sebagaiman a yang ditulis para ulama salaf dalam buku-buku mereka, antara lain :
(1). Imam Ibnu Hajar Alhaitsami menulis dalam kitab Majma`uz zawaid, 9:349 yang disebutkan juga dalam kitab Almathaali bul \`Aaliyah, 4:90 : Diriwayatk an dari Ja`far bin Abdillah bin Alhakam, bahwa shahabat Khalid bin Walid RA, Panglima perang tentara Islam, pada saat perang Yarmuk kehilangan songkok miliknya, lantas beliau meminta tolong dengan sangat agar dicarikan sampai ketemu. Tatkala ditemukan, ternyata songkok tersebut bukanlah baru, melainkan sudah hampir kusam, lantas beliau mengtakan : Tatkala Rasulullah saw. berumrah, beliau saw. mencukur rambutnya saat bertahallu l, dan orang-oran g yang mengetahui nya, mereka berebut rambut Rasulullah saw., kemudian aku bergegas mengambil rambut bagian ubun-ubun, dan aku selipkan pada songkokku ini, dan sejak aku memakai songkok yang ada rambut Rasulullah saw. ini, maka tidak pernah aku memimpim peperangan kecuali selalu diberi kemenangan oleh Allah.
(2). Imam Bukhari dalam Kitabus syuruuth, babus syuruuthu fil jihaad, meriwayatk an dari Almasur bin Makhramah dan Marwan, mengatakan bahwa Urwah (tokoh kafir Quraisy) memperhati kan perilaku para shahabat Nabi SAW., lantas mengkhabar kan kepada kawan-kawa nnya sesama kafir Quraisy : Wahai kaumku, demi tuhan, aku sering menjadi delegasi kepada para raja, aku menjadi delegasi menemui Raja Kaisar, Raja Kisra, dan Raja Najasyi, tetapi demi tuhan belum pernah aku temui para pengikut mereka itu dalam menghormat i para raja itu, seperti cara para shahabat dalam menghormat i Muhammad (SAW.), demi tuhan, setiap Muhammad meludah, pasti telapak tangan mereka dibuka lebar-leba r untuk menampung ludah Muhammad, lantas bagi yang mendapatka n ludah itu pasti langsung diusapkan pada wajah dan kulit masing-mas ing (tabarruka n). Jika Muhammad memrintahk an sesuatu, mereka bergegas menjalanka nnya. Jika Muhammad berwudlu mereka berebut bahkan hampir berperang hanya untuk (bertabarr uk) mendapatka n air bekas wudlunya. Jika mereka berbicara di depan Muhammad pasti merendahka n suaranya, mereka tidak berani memandang wajah Muhammad dengan lama-lama karena rasa hormat yang sangat dan lebih daripada umumnya.
(3). Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatk an dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi saw. datang ke Mina, lantas melaksanak an lempar Jumrah, kemudian mencukur rambutnya, dan meminta kepada si pencukur untuk mengumpulk an rambutnya, dan beliau saw. membagikan nya kepada masyarakat muslim.
(2). Riwayat serupa di atas juga terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi, yang mengatakan bahwa Nabi saw. menyerahka n potongan rambutnya kepada Abu Thalhah dan beliau saw. memerintah kan : Bagikanlah kepada orang-oran g.
(3). Imam Muslim meriwayatk an juga dari shahabat Anas RA berkata, bahwa suatu saat Nabi saw. beristirah at tidur di rumah kami sehingga beliau saw. berkeringa t, lantas ibu kami mengambil botol dan menampung tetesan keringat Nabi saw., kemudian Nabi saw. terbangun dan bersabda : Wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau lakukan ? Ummu Sulaim menjawab : Kami jadikan keringatmu ini sebagai parfum, bahkan ia lebih harum dari semua jenis parfum.
(4). Sedangkan dalam riwayat Ishaq bin Abi Thalhah, bahwa Ummu Sulaim istrinya Abu Thalhah menjawab : Kami mengharapk an barakahnya untuk anak-anak kami. Lantas Nabi saw. bersabda : Engkau benar.
(5). Imam Thabarani meriwayatk an dari Safinah RA, berkata : Tatkala Rasulullah saw. berhijamah (canthuk), beliau saw. bersabda kepadaku: Ambillah darahku ini, dan tanamlah jangan sampai ketahuan binatang liar, burung, maupun orang lain..! Lantas aku bawa menjauh dan aku minum, kemudian aku ceritakan kepada beliau saw., maka beliau tertawa.
(6). Imam Thabarani juga meriwayatk an hadits penguat, Nabi saw. bersabda : Barangsiap a yang darah (daging)-n ya bercampur dengan darahku, maka tidak bakal disentuh api neraka.
(7). Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatk an dari Anas RA, bahwa suatu saat Nabi saw. mampir ke rumah Ummu Sulaim, yang dalam rumah itu ada qirbah (tempat air minum) menggantun g, lantas beliau saw. meminumnya secara langsung dari bibir qirbah itu dengan berdiri, kemudian Ummu Sulaim menyimpan qirbah tersebut untuk bertabarru k dari sisa bekas tempat minum Nabi saw.
(8). Ibnu Hajar Alhaitsami menulis riwayat hadits dari Yahya bin Alharits Aldzimaari berkata : Aku menemui Watsilah bin Al-asqa` RA lantas aku tanyakan : Apa engkau membaiat Rasulullah dengan tanganmu ini ? Beliau menjawab : Ya.. ! Aku katakan : Sodorkanla h tanganmu untukku, dan aku akan menciumnya . Kemudian beliau memberikan tangannya kepadaku, dan akupun menciumnya . (HR. Atthabaran i).
(9). Imam Bukhari meriwayatk an dari Abdurrahma n bin Razin, mengatakan ; Kami melintas di Arrabadzah , lantas diinfokan kepada kami : Di situ ada Shahabat Salamah bin Al-aqwa` RA, lantas kami menjenguk beliau RA, dan kami ucapkan salam. Lantas beliau RA menjulurka n tangannya seraya berkata : Aku membaiat Nabi saw. dengan kedua tanganku ini...! Kemudian beliau membuka telapak tangannya yang gemuk besar, kemudian kami berdiri dan kami menciumnya .
(10). Imam Bukhari meriwayatk an dari Asmaa binti Abu Bakar RA, beliau sedang mengeluark an baju jubbahnya Nabi SAW. dan berkata : Ini jubbahnya Rasulullah saw., yang dulunya disimpan oleh `Aisyah, hingga `aisyah wafat, sekarang aku simpan...! Dulu Nabi saw. mengenakan jubbah ini, sekarang sering kami cuci (dan airnya khusus kami berikan) kepada orang yang sakit untuk penyembuha n (dengan bertabarru k dari air bekas cucian jubbah tersebut).
(11). Ibnu Taimiyyah dalam kitab karanganny a, Iqtidhaaus shiraathil mustaqiim, hal 367, meriwayatk an dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau memperbole hkan amalan mengusap mimbar masjidnya Nabi SAW. dan ukirannya, untuk tabarrukan , karena Shahabat Ibnu Umar RA serta para Tabi`in seperti Sa`id bin Musayyib dan Yahya bin Sa`id yang tergolong ahli fiqih kota Madinah juga mengusap mimbar Nabi saw. tersebut.
Masih banyak bukti hadits-had its Nabi saw. tentang bolehnya bertabarru k kepada barang-bar ang milik Nabi saw., serta milik orang-oran g shalih, dengan berbagai macam bentuk dan cara termasuk mencium makam kuburan Nabi saw. dan para wali serta orang-oran g shalih, selama tidak melanggar syariat Islam. Namun jika sampai menyembah karena mempertuha nkan barang-bar ang tersebut, tentunya diharamkan oleh syariat Islam. Termasuk diharamkan juga adalah perilaku orang awwan yang menyembah dan memberi sesajen kepada tempat-tem pat maupun kuburan-ku buran angker yang diyakini ada jin penunggu untuk dimintai banyak hal, padahal tempat-tem pat tersebut bukanlah tempat yang berbarakah dalam standar syariat Islam.
15. Bagaimana hukumnya membaca manaqib?
Mengertika h saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-oran g baik mulia:mana qib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya . Tidak boleh dan tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya . Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan hukumnya manaqib?
Betul tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu berlebih-l ebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tul ang ayam yang berserakan , diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau saudara melanjutka n cerita-cer ita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi teruskanla h. Misanya cerita tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada prajurut-p rajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupk an orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.
Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulka n hal-hal yang tidak masuk akal?Baik Nabi Allah maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob, kesemuanya itu masing-mas ing tidak bisa menimbulka n hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat menghalang -halangi?
Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal yang menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat, dan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah.Ad akah dalil yang menunjukka n bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan menimbulka n hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?
Silahkan saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ أَنَا آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرً ّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَ نِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolonga n, apakah itu tidak menjadikan musyrik?
Memanggil- manggil untuk dimintai pertolonga n baik kepada wali yang sudah mati atau kepada bapakc ibu saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan pertolonga n yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik. Akan tetapi kalau dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada halanganny a, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolonga n kepada para wali itu maksudnya adalah bertawassu l minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.
Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraa n (tawassul)?
Langsung boleh, dengan perantaraa n pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantaraa n Kepala Kantor saudara. Pengertian tawassul yang demikian itu tidak benar. Sebab berarti mengalihka n pandangan terhadap yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai kepercayaa n terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti itu.
Kalau saudara ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.
Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْ نَ لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْ نَ لاَيَدْعُو نَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ
Dan orang-oran g yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan pengertian sebagaiman a yang telah saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan contoh di bawah ini:
Saudara mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai perusahaan besar, saudara sudah kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat dengannya. Saya ingin diterima bekerja di perusahaan nya. Untuk melamar pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya bersama-sa ma, dan saya berkata, “Bapak pimpinan perusahaan yang mulia. Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya ajak guru saya menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”.
Coba perhatikan ! kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap majikan besar itu?Ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-keci l. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa anak yang kecil-keci l itulah yang lebih saya perhatikan . Kalau begitu adakah gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-keci l jugakah pengemis itu meminta?
Salah satu budaya mengenang sejarah dan autobiogra phi wali adalah manaqib. Manaqiban atau membaca manaqib dipercaya sebagai jalinan untuk terus-mene rus menyambung tali silaturahm i dengan Syekh Abdul Qadir al Jailany yang dikenal dengan sultanul aulia. Bagaimana dan apa seputar manaqib itu. Tulisan ini sekedar pendapat pribadi.
Ayat di bawah ini bisa dijadikan landasan mengapa kita harus berada di belakang orang-oran g yang selalu berada dalam jalan kembali kepada Allah SWT.
واتبع سبيل من أناب إلي ثم إلي مرجعكم فأنبئكم بما كنتم تعملون...
"Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kul ah kembalimu, Maka Kuberitaka n kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan." (QS Luqman: 15)
Bersyukur kepada Allah atas nikmat besar dimana kita masih bisa mendengar tausiah atau nasehat para ulama yang tidak bosan-bosa nnya mendorong manusia agar meningkata n kualitas iman ruhaninya. Bukan sekedar kata-kata, prilaku dan contoh kehidupann ya merupakan pelajaran yang amat berharga yang semestinya dijadikan teladan bagi para murid-muri dnya atau para simpatisan nya. Semoga upaya para ulama ini dapat kita ikuti baik yang mengaku murid-muri dnya atau yang menyukai perjalan ruhani menuju Mahabbah kepada Allah.
Salah satu tradisi yang dilakukan oleh dunia pesantren adalah mengamalka n manaqib. Manaqib yang dibaca adalah seputar prikehidup an Syeikh Abdul Qodir al Jilany q.s.a yang dikenal dengan Sulthanul Auliya. Karenanya manaqib yang dibaca adalah Manaqib Syeikh Abdul Qadir al Jilany.
Dalam pembacaan manaqib ini biasanya salah seorang memimpin bacaan yang terdapat dalam kitab manaqib. Sementara yang lainnya dengan khusu’ mendengark an secara aktif dengan memuji Allah dengan kalimat-ka limat yang terdapat dalam Asmaul Husna. Bagi yang mengerti bacaannya dapat menye¬lami lebih dalam maksud dan pelajaran- pelajaran dari isi kitab tersebut. Sebab di dalamnya berisi perikehidu pan, kebiasaan dan kelebihan- kelebihan dari Wali Allah. Bagi yang tidak mengerti akan diterangka n oleh gurunya.
Pembacaan manaqib ini mempengaru hi tingkat kerohanian para pengamal thareqah. Karena dengan membaca manaqib diharapkan dapat menda¬patk an limpahan kebaikan dari Allah SWT (berkah). Mengapa? Sebab di dalam kitab manaqib Syeikh Abdul Qadir Al Jilani terdapat autobiogra phi (catatan perjalanan kehidupan) tentu saja di dalamnya terdapat sejarah, nasihat, prilaku yang bisa dijadikan teladan dari Syeikh Abdul Qoadir q.s.a
Pengertian dan Manfaat Manaqib
Menurut kamus Munjib dan Kamus Lisanul ‘Arab, Manaqib adalah ungkapan kata jama’ yang berasal dari kata Manqibah artinya Atthoriqu fi al jabal jalan menuju gunung atau dapat diartikan dengan sebuah pengetahua n tentang akhlaq yang terpuji, akhlaqul karimah. Dari pengertian ini manaqib dapat diartikan sebuah upaya untuk mendapatka n limpahan kebaik¬an dari Allah SWT dengan cara memahami kebaikan-k ebaikan para kekasih Allah yaitu para Aulia. Sebab Para wali dicintai oleh Allah dan para wali sangat cinta kepada Allah. (Yuhibbuun allah wayubibbuh um).
Sebagaiman a ditulis dalam quran:
"Hai orang-oran g yang beriman, barangsiap a di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangk an suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai- Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-oran g kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan- Nya kepada siapa yang dikehendak i-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian -Nya) lagi Maha Mengetahui . (Al Maidah (5): 54)
Ensikloped i Islam mengartika n manakib sebagai sebuah sejarah dan pengalaman spiritual seorang wali Allah SWT. yang di dalamnya terdapat cerita-cer ita, ikhtisar hikayat, nasihat-na sihat serta peristiwa- peristiwa ajaib yang pernah dialami seorang syekh. Semuanya ditulis oleh pengikut tarekat atau para pengagumny a dan dirangkum dari cerita yang bersumber dari murid-muri dnya, orang terdekatny a, keluarga dan sahabat-sa habatnya (Ensiklope di Islam: 152).
Jadi, manakib adalah kitab sejarah atau autobiogra phi yang bersifat hagiografi s (menyanjun g) karena manaqib dibaca bertujuan dijadikan teladan bagi pembacanya disamping juga tujuan tabarruk (mengharap berkah) dan tawassul (membuat perantara pembaca dengan Allah).
Manaqib adalah Tawasul
Mengenai masalah tawasul dan tabarruk, Said Ramdhan al-Buthi menyampaik an bahwa tawassul dan tabarruk adalah dua kalimat dengan satu arti yang kalau dalam Ushul Fiqh disebut dengan tanqihul ma¬nath, dengan menjadikan bagian-bag ian kecil (tabarruk) dari satu induk (tawassul) dimasukkan ke dalam induk tersebut. Namun, al-Buthi dengan tegas mengata¬ka n bahwa tawassul adalah tindakan sunnah dengan bukti banyaknya dalil nash hadits yang shahih. Al-Bukhari meriwayatk an dari Ummu Salamah bahwa beliau pernah menyimpan beberapa helai rambut Nabi. Rambut tersebut beliau simpan sebagai obat bagi sahabat yang sakit dengan mengharap barokah Nabi (Fiqh al-Sirah:1 77-178).
Pada masa Rasulullah saw. seperti tertulis dalam kitab Al Hikam dimana Rasulullah saw. pernah menyuruh Sahabat Ali kw untuk menemui Uways al Qarny r.a untuk memintakan ampunan kepada Allah SWT. Karena uways ini menurut Nabi saw. akan menjadi salah satu raja di surga.
Tawasul berupa Amal
Hadits tentang wasilah berupa amal yang bersumber dari Ibnu Umar ra. . bahwa Rasulullah saw. bercerita dalam hadits ini yang cukup panjang salah satu intinya adalah ada tiga orang yang tersesat di dalam gua, lalu tiba-tiba sebuah batu besar menutupi mulut gua. Namun tiada harapan kecuali berdoa kepada Allah agar batu bisa tersingkir . Ketika satu demi satu orang berdoa, mereka berwasilah dengan amal sholeh masing-mas ing; orang pertama berwasilah pada amal dimana ia pernah memberikan susu kepada ibudanya padahal anaknya sangat membutuhka n; “Aku lebih menguta¬ma kan ibu terlebih dahulu dari pada anak-anakk u meskipun anaku merengek meminta.” Adapun wasilah amal orang kedua adalah kemampuan orang kedua ini menghentik an niat hendak mau menggauli sepupu perem¬puan nya padahal sudah memberikan uang 100 dinar, namun tidak jadi karena sepupu perempuan¬ nya meminta menikahkan nya, akhirnya membatal¬k an niat jahat tersebut. Sedangkan orang ketiga memiliki wasilah amal dima¬na dia memakan hak gaji pegawai. Ketika ditegur “takutlah kepada Allah dan janganlah mendzalimi aku.” Karena merasa takut kepada Allah, setelah sekian lama orang ini memberikan ganti uang hak pegawai itu berupa peternakan lembu dan anak-anakn ya yang telah berkembang biak yang modalnya diambil dari hak pekerja tersebut. Dari ketiga wasilah orang tersebut Allah mengge¬rak kan batu besar yang menutupi gua sehingga mereka bertiga bisa lepas dari musibah. (HR. Bukhari-Mu slim)
Dari hadits tersebut di atas, maka sebuah amal adalah wasilah yang dapat mengantark an kita kepada Allah SWT. Dengan amal ini juga boleh jadi dapat memberikan pertolonga n terhadap derita seorang hamba karena tertimpa musibah seperti derita tiga orang yang terjebak di dalam gua.
Dalil Manaqib
Mendekati Allah dengan cara mendekati orang-oran g yang dicintai Allah adalah sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Luqman: 15: “.... dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kul ah kembalimu, maka Ku-beritak an kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Tafsir al Qurthuby mengartika n “anaba ilayya” kembali kepada-Ku (Allah SWT) yaitu kembali kepada jalan para Nabi dan orang-oran g sholeh. Dengan demikian maka mengikuti jalan orang-oran g sholeh apalagi para ulama dan aulia merupakan anjuran Allah dan Rasul-Nya. “Ingatlah, sesungguhn ya wali-wali Allah itu, tidak ada kekha¬wati ran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)
Jadi dengan mengikuti pembacaan manaqib Insya Allah meru¬pakan salah satu jalan tempuh untuk memperoleh rakhmat dan karunia Allah dengan cepat. Sebab dengan manaqib ini kita dapat mengenal, memahami, serta menyelami karakter serta sifat-sifa t wali Allah yang tujuan akhirnya dalah untuk diteladani .
Kalau Uwais ra hidup pada zaman Rasulullah saw. maka para Waliullah yang hidup setelahnya patut kita contoh. Salah satu¬nya adalah Syeikh Abdul Qadir al Jilany (Allah telah mensuci¬ka n sir nya) yang dikenal dengan sultanul auliaa (Penghulu para wali).
Diantara para pembaca manakib ada yang mengamalka n pembacaan manaqib ini secara berkala mingguan, bulanan tahunan atau kapan saja jika dikehendak i. Atau dalam moement-mo ment berkumpul seperti dalam acara syukuran lahir anak atau acara walimahan. Tentu saja harapannya adalah agar memperoleh keberkahan dalam kehidupan jasmani dan rohani dunia wal akhirat. Jadi tunggu apalagi, makiban yuks! Wallahu ‘alam (MK)
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat .
16. Dalil Bolehnya Bertawasul
Banyak pemahaman saudara-sa udara kita muslimin yang perlu diluruskan tentang tawassul, tawassul adalah berdoa kepada Allah dengan perantara amal shalih, orang shalih, malaikat, atau orang-oran g mukmin.
Tawassul kepada Rasulullah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64, “Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhn ya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. ” Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah SWT mengampuni dosa-dosa orang yang dhalim, disamping do’a mereka tetapi ada juga wasilah (do’anya) Rasulullah SAW.
Soal tawassul seperti itu, disebutkan pula dalam tafsir Ibnu Katsir, “Berkata Al-Imam Al-Hafidz As-Syekh Imaduddin Ibnu Katsir, menyebutka n segolongan ulama’ di antaranya As-Syekh Abu Manshur As-Shibagh dalam kitabnya As-Syaamil dari Al-Ataby; berkata: saya duduk di kuburan Nabi SAW. maka datanglah seorang Badui dan ia berkata: Assalamu’a laika ya Rasulullah ! Saya telah mendengar Allah berfirman;
Walaupun sesungguhn ya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka kemudian datang kepadamu dan mereka meminta ampun kepada Allah, dan Rasul memintakan ampun untuk mereka, mereka pasti mendapatka n Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang; dan saya telah datang kepadamu (kekuburan Rssulullah ) dengan meminta ampun akan dosaku dan memohon syafa’at dengan wasilahmu (Nabi) kepada Allah, kemudian ia membaca syair memuji Rasulullah , kemudian orang Badui tadi pergi, maka saya ketiduran dan melihat Rasulullah dalam tidur saya, beliau bersabda, “Wahai Ataby temuilah orang Badui tadi sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”
Tawassul merupakan hal yang sunnah, dan tak pernah ditentang oleh Rasul saw., tak pula oleh Ijma Sahabat radhiyalla huanhum, tak pula oleh Tabiin, dan bahkan para Ulama dan Imam-Imam besar Muhadditsi n, mereka berdoa tanpa perantara atau dengan perantara, dan tak ada yang menentangn ya, apalagi mengharamk annya, atau bahkan memusyrikk an orang yang mengamalka nnya.Pengi ngkaran hanya muncul pada abad ke 20 ini, dengan munculnya sekte Wahabi Salafi sesat yang memusyrikk an orang-oran g yang bertawassu l, padahal Tawassul adalah sunnah Rasul saw., sebagaiman a hadits shahih dibawah ini :
"Wahai Allah, Demi orang-oran g yang berdoa kepada Mu, demi orang-oran g yang bersemanga t menuju (keridhoan ) Mu, dan Demi langkah-la ngkahku ini kepada (keridhoan ) Mu, maka aku tak keluar dengan niat berbuat jahat, dan tidak pula berniat membuat kerusuhan, tak pula keluarku ini karena Riya atau sumah.. hingga akhir hadits. (HR Imam Ahmad, Imam Ibn Khuzaimah, Imam Abu Naiem, Imam Baihaqy, Imam Thabrani, Imam Ibn Sunni, Imam Ibn Majah dengan sanad Shahih).
Hadits ini kemudian hingga kini digunakan oleh seluruh muslimin untuk doa menuju masjid dan doa safar.
Tujuh Imam Muhaddits meriwayatk an hadits ini, bahwa Rasul saw. berdoa dengan Tawassul kepada orang-oran g yang berdoa kepada Allah, lalu kepada orang-oran g yang bersemanga t kepada keridhoan Allah, dan barulah bertawassu l kepada Amal shalih beliau saw. (demi langkah2ku ini kepada keridhoan Mu). Siapakah Muhaddits? , Muhaddits adalah seorang ahli hadits yang sudah hafal minimal 40.000 (empat puluh ribu) hadits beserta hukum sanad dan hukum matannya, betapa jenius dan briliannya mereka ini dan betapa Luasnya pemahaman mereka tentang hadist Rasul saw., sedangkan satu hadits pendek, bisa menjadi dua halaman bila disertai hukum sanad dan hukum matannya.
Lalu hadits diatas diriwayatk an oleh tujuh Muhaddits, apakah kiranya kita masih memilih pendapat madzhab sesat yang baru muncul di abad ke 20 ini, dengan ucapan orang-oran g yang dianggap muhaddits padahal tak satupun dari mereka mencapai kategori Muhaddits , dan kategori ulama atau apalagi Imam Madzhab, mereka hanyalah pencaci, apalagi memusyrikk an orang-oran g yang beramal dengan landasan hadits shahih. Masih banyak hadits lain yang menjadi dalil tawassul adalah sunnah Rasululloh saw., sebagaiman a hadits yang dikeluarka n oleh Abu Nu'aim, Thabrani dan Ibn Hibban dalam shahihnya, bahwa ketika wafatnya Fathimah binti Asad (Bunda dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, dalam hadits itu disebutkan Rasul saw. rebah/ bersandar dikuburnya dan berdoa : "Allah Yang Menghidupk an dan mematikan, dan Dia Maha Hidup tak akan mati, ampunilah dosa Ibuku Fathimah binti Asad, dan bimbinglah hujjah nya (pertanyaa n di kubur), dan luaskanlah atasnya kuburnya, Demi Nabi Mu dan Demi para Nabi sebelum Mu, Sungguh Engkau Maha Pengasih dari semua pemilik sifat kasih sayang.",M aka jelas sudah dengan hadits ini pula bahwa Rasululloh saw. bertawassu l di kubur, kepada para Nabi yang telah wafat, untuk mendoakan Bibi beliau saw. (Istri Abu Thalib).
Demikian pula tawassul Sayyidina Umar bin Khattab ra. Beliau berdoa meminta hujan kepada Allah : Wahai Allah.. kami telah bertawassu l dengan Nabi kami (saw.) dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassu l dengan Paman beliau (saw.) yang melihat beliau (saw.), maka turunkanla h hujan".
maka hujanpun turun. (Shahih Bukhari hadits no.963 dan hadits yang sama pada Shahih Bukhari hadits no.3508).U mar bin Khattab ra melakukann ya, para sahabat tak menentangn ya, demikian pula para Imam-Imam besar itu tak satupun mengharamk annya, apalagi mengatakan musyrik bagi yang mengamalka nnya, hanyalah pendapat sekte sesat ini yang memusyrikk an orang yang bertawassu l, padahal Rasululloh saw. sendiri bertawassu l.
Apakah mereka memusyrikk an Rasululloh saw.?, dan Sayyidina Umar bin Khattab ra bertawassu l, apakah mereka memusyrikk an Umar?, Naudzubill ah dari pemahaman sesat ini.
Mengenai pendapat sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh pada orang yang masih hidup, maka entah darimana pula mereka mengarang persyarata n tawassul itu, dan mereka mengatakan bahwa orang yang sudah mati tak akan dapat memberi manfaat lagi, pendapat yang jelas-jela s datang dari pemahaman yang sangat dangkal, dan pemikiran yang sangat buta terhadap kesucian tauhid. Jelas dan tanpa syak bahwa tak ada satu makhlukpun dapat memberi manfaat dan mudharrat terkecuali dengan izin Allah SWT, lalu mereka mengatakan bahwa makhluk hidup bisa memberi manfaat, dan yang mati mustahil?, lalu dimana kesucian tauhid dalam keimanan mereka?Tak ada perbedaan dari yang hidup dan yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah,
Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah, dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila dikehendak i Allah. karena penafian kekuasaan Allah SWT atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas.Keta huilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperanta ra kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah Robbil alamin, yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi shalih, hidup atau mati tak membedakan Kudrat ilahi atau membatasi kemampuan Allah, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah tetap abadi walau mereka telah wafat.Cont oh lebih mudah nya sbb, anda ingin melamar pekerjaan, atau mengemis, lalu anda mendatangi seorang saudagar kaya, dan kebetulan mendiang tetangga anda yang telah wafat adalah abdi setianya yang selalu dipuji oleh si saudagar, lalu anda saat melamar pekerjaan atau mungkin mengemis pada saudagar itu, anda berkata : "Berilah saya tuan.. (atau) terimalah lamaran saya tuan, saya mohon.. saya adalah tetangga dekat fulan.
Bukankah ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati?, bagaimana dengan pandangan bodoh yang mengatakan orang mati tak bisa memberi manfaat??, jelas-jela s saudagar akan sangat menghormat i atau menerima lamaran pekerjaan anda, atau memberi anda uang lebih, karena anda menyebut nama orang yang ia cintai, walau sudah wafat, tapi kecintaan si saudagar akan terus selama saudagar itu masih hidup., pun seandainya ia tak memberi,
Namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan Arrahmaan Arrhiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Menyantuni ?? dan tetangga anda yang telah wafat tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang lamaran anda pada si saudagar,
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat .
17. Hukum Maulid Nabi
Tradisi merayakan maulid Nabi SAW. 12 Rabiul Awwal (sebagian ada yang mengatakan 9 Rabiul Awwal, juga ada yang mengatakan 17 Rabiul Awwal) tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam.
Kalangan awam di antara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama akan tahu bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual peribadata n dalam syariat.
Alasan di atas dapat dilihat dari bentuk isi acara maulid Nabi yang sangat bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatny a justru pada momentum untuk menyatukan gairah ke-Islaman . Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW. sulit membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/ tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasiona l serta mubah. Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohka n oleh Rasulullah SAW.
Imam as-Suyuthi mengatakan dalam menanangga pi hukum perayaan maulid Nabi SAW., “Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW., yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisa h teladan Nabi SAW. sejak kelahirann ya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangka n makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah (sesuatu yang baik). Orang yang melakukann ya diberi pahala karena mengagungk an derajat Nabi SAW., menampakka n suka cita dan kegembiraa n atas kelahiran Nabi Muhamad saw. yang mulia.” (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252)
Terkait dengan bid’ah, Imam Syafi’i menjelaska n, “Sesuatu yang diada-adak an (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adak an (dalam agama) bertentang an dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW., prilakuk sahabat, atau kesepakata n ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun sesuatu yang diada-adak an adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik).” (Fathul Bari, juz XVII: 10)
Membaca Sholawat
Membaca shalawat adalah salah satu amalan yang disenangi orang-oran g NU, disamping amalan-ama lan lain. Ada shalawat “Nariyah”, ada sholawat Badr, ada “Thibbi Qulub”. Ada shalawat “Tunjina”, dan masih banyak lagi. Belum lagi bacaan “hizib” dan “rawatib” yang tak terhitung banyaknya. Semua itu mendorong semangat keagamaan dan cita-cita kepada Rasulullah sekaligus ibadah.
Salah satu hadits yang membuat kita rajin membaca shalawat ialah sabda Rasulullah , “Siapa membaca shalawat untukku, Allah akan membalasny a 10 kebaikan, diampuni 10 dosanya, dan ditambah 10 derajat baginya. Makanya, bagi orang-oran g NU, setiap kegiatan keagamaan bisa disisipi bacaan shalawat dengan segala ragamnya.
Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia mengatakan Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa membaca shalawat kepadaku 100 kali maka Allah akan mengabulka n 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan : Perbanyakl ah shalawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilang kan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.
Rasulullah di alam barzakh mendengar bacaan shalawat dan salam dan dia akan menjawabny a sesuai jawaban yang terkait dari salam dan shalawat tadi. Seperti tersebut dalam hadits. Rasulullah SAW. bersabda: Hidupku, juga matiku, lebih baik dari kalian. Kalian membicarak an dan juga dibicaraka n, amal-amal kalian disampaika n kepadaku; jika saya tahu amal itu baik, aku memuji Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada Allah. (Hadits riwayat Al-hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab shalawat ‘ala an-Nabi). Imam Haitami dalam kitab Majma’ az-Zawaid meyakini bahwa hadits di atas adalah shahih. Hal ini jelas bahwa Rasulullah memintakan ampun umatnya (istighfar ) di alam barzakh. Istighfar adalah doa, dan doa Rasul untuk umatnya pasti bermanfaat .
18. Dalil Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaa n shalat berjama'ah
Amalan ini adalah baik dan dianjurkan , dengan alasan.
1. Dari sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Diriwayatk an dari Abu Dawud, Nasai, dan Ahmad, pada masa Rasulullah SAW., para sahabat juga membaca syair di Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunka n syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunka n syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutka n perkataann ya.‘Bukank ah engkau telah mendengark an sabda Rasulullah saw., jawablah pertanyaan ku, ya Allah mudah-muda han Engkau menguatkan nya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah mendengarn ya). ” Mengomenta ri hadits ini, Syaikh Isma’il az-Zain menjelaska n adanya kebolehan melantunka n syair yang berisi puji-pujia n, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16).
2. Dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarka n ajaran Islam di tengah masyarakat .
19. Berzikir dengan pengeras suara
Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanak an dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-mas ing orang memiliki cara tersendiri . Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraska n dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangk an konsentras i dan ke-khusyu' -an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangka n ke-khusyu’ -an.
Imam Zainuddin al-Malibar i menegaskan : “Disunnahka n berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah , imam yang tidak bermaksud mengajarka nnya dan tidak bermaksud pula untuk memperdeng arkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraska n suara dzikir dan doa.
Memang ada banyak hadits yang menjelaska n keutamaan mengeraska n bacaan dzikir, sebagaiman a juga banyak sabda Nabi saw. yang menganjurk an untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentang an, karena masing-mas ing memiliki tempatnya sendiri-se ndiri. Yakni disesuaika n dengan situasi dan kondisi. Contoh hadits yang menganjurk an untuk mengeraska n dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini, "Aku mengetahui dan mendengarn ya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanak an shalat dan hendak meninggalk an masjid.” (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Adra’ berkata, "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah saw. lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraska n suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah saw. menjawab, "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan ." Hadits lainnya justru menjelaska n keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatk an Rasulullah saw. bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-aka n kontradikt if itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:
Imam Nawawi menkomprom ikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahk an mengeraska n suara dzikir dan hadist yang mensunnahk an memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatir an akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraska n dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangk an manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatk an hati orang yang lalai, terus merenungka n dan menghayati dzikir, mengkonsen trasikan pendengara n jama’ah, menghilang kan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).
20. Hukum Meng-Hadiah-kan Fatihah
Di antara tradisi umat Islam adalah membaca surat al-Fatihah dan menghadiah kan pahalanya untuk Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Para ulama mengatakan bahwa hukum perbuatan ini adalah boleh. Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali mengatakan , "Disunnahka n menghadiah kan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi saw.”
Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya ) memungkink an untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurna annya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua semua amal umatnya otomatis masuk dalam timbangan amal Rasulullah , jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitak an dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawa t terhadap Nabi saw. kemudian Allah memerintah kan kita untuk bershalawa t kepada Nabi.
Al Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam al-Matin, hhm. 270, mengatakan , "Menurut saya boleh saja seseorang menghadiah kan bacaan Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi saw., meskipun beliau selalu mendapatka n pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukann ya, hal ini tidak menunjukka n bahwa itu dilarang.”
21. Hukum Bacaan al-Qur’an, Doa (Tahlil) dan Jamuan makan untuk orang mati
Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut, “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39). Juga hadits Nabi Muhammad SAW., “Jika anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatann ya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’at kan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”
Mereka sepertinya , hanya secara parsial memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubung kan dengan dalil-dali l lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentang an dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW. beberapa di antaranya, “Dan orang-oran g yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-sa udara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10) Dalam hadith dijelaskan , “Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi saw.; Ya Rasulullah sesungguhn ya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Di dalam Tafsir ath-Thobar i jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa surat Al-Najm ayat 39 di atas diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata, “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akhera.t” Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan , bukan berarti menghilang kan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainn ya.
Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.
Dr. Ahmad as-Syarbas hi, guru besar pada Universita s al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluuna ka fid Diini wal Hayaah juz 1 : 442, sebagai berikut, “Sungguh para ahli fiqh telah berargumen tasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhn ya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., seraya berkata: Wahai Rasulullah , sesungguhn ya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw. bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-bena r akan sampai kepada mereka dan sesungguhn ya mereka itu benar-bena r bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaiman a salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya! "
Sedangkan Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan . Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahka n pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghorma ti tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakka n rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
22. Tahlilan/ Kenduri Arwah, Mana dalilnya?
Acara tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dzikir(Tas bih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar, dll), Sholawat dan lain sebagainya yg bertujuan supaya amalan tsb, selain untuk yang membacanya juga bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut kami sampaikan beberapa dalil yang menerangka n sampainya amalan tsb (karena keterbatas an ruang & waktu maka kami sampaikan sementara dalil yg dianggap urgen saja, Insya Alloh akan disambung karena masih ada beberapa dalil hadits & pendapat ulama terutama ulama yang sering dijadikan sandaran sodara kita yg tidak menyetujui adanya acara tahlilan diantarany a pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani dll..
DALIL SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT
1. Dalil Alqur’an:
Artinya:” Dan orang-oran g yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-sau dar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-oran g yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar ) untuk orang-oran g beriman sebelum mereka. Ini menunjukka n bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
2. Dalil Hadits
a. Dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:” Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW. – setelah selesai shalat jenazah-be rsabda:” Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanla h dia, muliakanla h tempat tinggalnya , luaskanlah kuburannya , mandikanla h dia dengan air es dan air embun, bersihkanl ah dari segala kesalahan sebagaiman a kain putih bersih dari kotoran, gantikanla h untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya , keluarga yang lebih baik dari keluargany a, pasangan yang lebih baik dari pasanganny a dan peliharala h dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan , Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW. apabila selesai menguburka n mayyit beliau beridiri lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatk an oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW.:
Artinya:” bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW. menjawab, “Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahka n kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhn ya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW. unntuk bertanya:” Wahai Rasulullah SAW. sesungguhn ya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul saw. menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanla h bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum
Artinya: Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW. bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluargany a berpuasa untuknya”( HR Bukhari dan Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji
Artinya: Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi saw. dan bertanya:” Sesungguhn ya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarny a ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
3. Dalil Ijma’
a. Para ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.
b. Bebasnya hutang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarka n hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarny a nabi saw. bersabda:
Artinya:” Sekarang engkau telah mendingink an kulitnya” (HR Ahmad)
4. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiah kan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaiman a tidak dilarang menghadiah kan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaska n utang setelah wafatnya.
Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalka n disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Adapun dalil yang menerangka n shadaqah untuk mayit pada hari-hari tertentu seperti hari ke satu, dua sampai dengan ke tujuh bahkan ke-40 yaitu hadits marfu’ mursal dari tiga orang tabi`ien yaitu Thaus, Ubaid bin Umair dan Mujahid yang dapat dijadikan qaid kepada hadits-had its mutlak (tidak ada qaid hari-hari untuk bershadaqa h untuk mayit) di atas:
a. Riwayat Thaus :
Bahwa orang-oran g mati itu akan mendapat fitnah (ujian) di dalam alam kubur mereka tujuh hari. Maka mereka (para sahabat) itu menganjurk an untuk memberi shadaqah makanan atas nama mereka selama hari-hari itu.
b. Sebagai tambahan dari riwayat Ubaid bin Umair:
Terjadi fitnah kubur terhadap dua golongan orang yaitu orang mukmin dan orang munafiq. Adapun terhadap orang mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap orang munafiq dilakukan 40 hari.
c. Ada lagi tambahan dalam riwayat Mujahid yaitu
Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan selama tujuh hari, sejak dikuburkan tidak memisahiny a.
Kemudian dalam beberapa hadits lain menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan Nakir itu mengulangi pertanyaan -pertanyaa n tiga kali dalam satu waktu. Lebih jelas dalam soal ini dapat dibaca dalam buku “Thulu’ ats-tsurai ya di izhaari makana khafiya” susunan al Imam Suyuty dalam kitab “ Al-Hawi lil fatawiy” jilid II.
Tambahan:
Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)
A. Dalil-dali l Hadiah Pahala Bacaan
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasany a Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkar i sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari orang-oran g kepercayaa n tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut pengingkar annya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi ’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiah kan (pahalanya ) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma . (Yasaluuna ka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat sedangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni
“Barangsia pa masuk kepekubura n lalu membaca qulhuwalla hu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiah kan pahalanya kepada orang-oran g yang telah mati (dipekubur an itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“ Barangsiap a melewati pekuburan lalu membaca qulhuwalla hu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiah kan pahalanya kepada orang-oran g yang telah mati (dipekubur an itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
(Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya” .
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda: “Bacakanla h surat yaasin untuk orang yang telah mati diantara kamu”.
B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhn ya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah, sampaikanl ah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiah kan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaiman a sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu taymiyah :
“sesungguh nya mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-iba dah kebendaan seperti sedekah dan seumpamany a”. (yas alunka fiddin wal hayat jilid I/442).
Di atas adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada hal. 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang yang bertahlil, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan menyampaik an pahala tersebut kepada simayat muslim lantas ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai kepada si mayat dan juga tasbih, takbir dan lain-lain zikir sekiranya disampaika n pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus serta baik.
Mengapa Wahhabi menolak dan menyesatka n amalan ini.
Di atas adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juz 24 hal. 324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil 70000 kali dan menghadiah kan kepada si mayat muslim lantas ibnu taimiah mengatakan amalan itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata Ibnu qayyim al-jauziya h:
“sesuatu yang paling utama dihadiahka n kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiah kan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaiman a pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluun aka fiddin wal hayat jilid I/442)
Berkata Ibnu qayyim al-jauziya h dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata : Menceritak an kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri, menceritak an kepada kami yahya bin mu’in, menceritak an kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritak an kepada kami Abdurrahma n bin Ala’ bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah disamping kepalaku karena seungguhny a aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama : “Mengabark an kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq, menceritak an kepadaku Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan , seorang lelaki kurus duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an) . Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhn ya membaca al-qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi? . Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercay a), apakah engkau meriwayatk an sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarka n kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan surat al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalila h dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul qayyim al jauziyah).
5. Berkata Sayaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “ Tokoh-toko h madzab hanafi berpendapa t bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an atau selain demikian daripada macam-maca m kebaikan, boleh baginya menghadiah kan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6. Imam sya’bi ; “Orang-ora ng anshar jika ada diantara mereka yang meninggal, maka mereka berbondong -bondong ke kuburnya sambil membaca al-qur’an disampingn aya”. (ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).
7. Berkata Syaikh ali ma’sum : “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulam a mutakhirin berpendapa t boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa pendapat inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad al-arobi: Sesungguhn ya membaca al-qur’an untuk orang-oran g yang sudah meninggak hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha islam Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan berdasarka n pendapat yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).
9. Berkata imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan al-qur’an, doa dan istighfar karena masing-mas ingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebai kan adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama ahlussunna h yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang dihadiahka n untuk mayyit (muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu panjang.
C. Dalam Madzab Imam syafii
Untuk menjelaska n hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafii dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafii berpendapa t bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturk an doa : “Ya Allah sampaikanl ah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/ 522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafii menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaika n pahala bacaan tersebut. Dan seyogyanya memantapka n pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulka n bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapa i qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzhab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-sya rat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaika n kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya” .
Hal senada juga diungkapka n oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpula n Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya ”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk si mayyit juga disertai dengan doa penyampaia n pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
D. Dalil-dali l orang yang membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalka n itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalka n itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar hutang itu miliknya. Jadi terbayarla h hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibann ya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakan nya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap digunakann ya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-ja waban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangka n dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulann ya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabka n orang-oran g cinta dan suka padanya. Maka banyaklah orang-oran g itu yang menyayangi nya.
Merekapun berdoa untuknya dan mengahadia hkan pula pahala dari ketaatan-k etaatan yang sudah dilakukann ya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain didalam ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya kemanfaata n dari masing-mas ing kaum muslimin kepada yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang lain.
Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaata n dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaik annya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahka n kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaata n untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan “kepemilik an seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarka n bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahak annya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikan nya kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkan nya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianla h dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah .
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam (umat Nabi Muhammad SAW.), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangka n hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenaka n pangkal ayat tersebut berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibann ya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakan nya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam menafsirka n ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalka n) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanl ah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-oran g yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakan nya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianla h penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhah ir ayat semata-mat a karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dali l baik dari al-qur’an maupun hadits-had its shahih yang ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupa nnya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan) ”.
Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasa n). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatka n apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungann ya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatka n dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya . Lain halnya kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasa n) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi dengan memperhati kan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan diberikann ya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal. 456).
(ringkasan dari Buku argumentas i Ulama syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahm an, halaman 142-159, mutiara ilmu)
Semoga menjadi asbab hidayah bagi Ummat
23. Hukum Membaca Al-Barzanj i
Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi (orang banjar menyebutny a *Ba-Mulud’ an*)
sudah melembaga bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap
memasuki Rabi’ul Awwal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi
pendidikan , dan majelis taklim bersiap memperinga tinya dengan beragam cara
dan acara; dari sekadar menggelar pengajian kecil-keci lan hingga seremoni
akbar dan bakti sosial, dari sekadar diskusi hingga ritual-rit ual yang sarat
tradisi (lokal).
Di antara yang berbasis tradisi adalah:
*Manyangga r Banua, Mapanretas i di Pagatan, Ba’Ayun Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin, Kalimantan Selatan
*Sekaten, di Keraton Yogyakarta dan Surakarta,
*Gerebeg Mulud di Demak,
*Panjang Jimat *di Kasultanan Cirebon,
*Mandi Barokah *di Cikelet Garut, dan sebagainya .
Tradisi lain yang tak kalah populer adalah pembacaan Kitab al-Barzanj i. Membaca Barzanji seolah menjadi sesi yang tak boleh ditinggalk an dalam setiap peringatan
Maulid Nabi. Pembacaann ya dapat dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan
notasi apa pun, karena memang tidak ada tata cara khusus yang mengaturny a.
Al-Barzanj i adalah karya tulis berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur
tentang biografi Muhammad, mencakup *nasab*-ny a (silsilah) , kehidupann ya
dari masa kanak-kana k hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahka n
sifat-sifa t mulia yang dimilikiny a, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan
teladan manusia.
Judul aslinya adalah *’Iqd al-Jawahir *(Kalung Permata). Namun, dalam
perkembang annya, nama pengarangn yalah yang lebih masyhur disebut, yaitu
Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanj i. Dia seorang
sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
*Relasi Berjanji dan Muludan
*Ada catatan menarik dari Nico Captein, seorang orientalis dari Universita s
Leiden, dalam bukunya yang berjudul *Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad
saw. *(INIS, 1994).
Menurutnya , Maulid Nabi pada mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah
Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti
tersebut benar-bena r keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di
balik perayaanny a.
Dari kalangan Sunni, pertama kali diselengga rakan di Suriah oleh Nuruddin
pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan
seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak
memperinga ti karena dinilai *bid’ah *(mengada- ada dalam beribadah) .
Di Indonesia, tradisi Berjanjen bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin
*(sebutan untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada peringatan Maulid Nabi, namun kerap diselengga rakan pula pada tiap malam Jumat, pada upacara kelahiran, *akikah *dan potong rambut, pernikahan , syukuran, dan upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah menjadi kurikulum wajib.
Selain al-Barzanj i, terdapat pula kitab-kita b sejenis yang juga bertutur tentang kehidupan dan kepribadia n Nabi. Misalnya, kitab
*Shimthual -Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (Syair Maulud Al-Habsy),
*al-Burdah , karya al-Bushiri dan
*al-Diba, karya Abdurrahma n al-Diba’iy .
Inovasi Baru
Esensi Maulid adalah penghijaua n sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai satu-satun ya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur dari idealisme, kristalisa si dari berbagai falsafah hidup yang diyakini. Penghijaua n sejarah dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awwal.
Kaitannya dengan kebangsaan , identitas dan nasionalis me seseorang akan lahir
jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut
agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya
Kitab al-Barzanj i merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial
itu, yakni ‘menghidup kan’ tokoh idola melalui teks-teks sejarah.
Permasalah annya sekarang, sudahkah pelaku Berjanjen memahami bait-bait indah
al-Barzanj i sehingga menjadikan nya inspirator dan motivator keteladana n?
Barangkali , bagi kalangan santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna
tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah
kajian khusus terhadap referensi penjelas *(syarh) *dari al-Barzanj i, yaitu
kitab *Madarij al-Shu’ud *karya al-Nawawi al-Bantani , menjadikan pemahaman
mereka semakin komprehens if.
Bagaimana dengan masyarakat awam? Tentu mereka tidak bisa seperti itu.
Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab
itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya. Akibatnya,
penjiwaan dan penghayata n makna al-Barzanj i sebagai inspirator dan motivator
hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang tersakralk an.
Barangkali , kita perlu berinovasi agar pesan-pesa n profetik di balik bait
al-Barzanj i menjadi tersampaik an kepada pelakunya (terutama masyarakat awam)
secara utuh menyeluruh . Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah
yang andal dan sastrawan- sastrawan ulung untuk mengemas bahasa al-Barzanj i
ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian . Selain itu, juga
mempertimb angkan kesiapan masyarakat menerima inovasi baru terhadap
aktivitas yang kadung tersakralk an itu.
Inovasi dapat diimplemen tasikan dengan menerjemah kan dan menekankan aspek
keteladan. Dilakukan secara gradual pasca-memb aca dan melantunka n syair
al-Barzanj i. Atau mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertaka n
bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti
dipertunju kkan W.S. Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawa n pada
Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor,
Senayan, Jakarta.
Sebagai pungkasan, semoga Barzanji tidak hanya menjadi ‘lagu wajib’ dalam upacara, tapi (yang penting) juga mampu menggerakk an pikiran, hati, pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi lebih baik sebagaiman a Nabi.
Dan semoga, Maulid dapat mengentask an kita dari keterpuruk an sebagaiman a Shalahuddi n Al-Ayubi sukses membangkit kan semangat tentaranya hingga menang
dalam pertempura n.
Garis Keturunan Syekh al-Barzanj i :
Sayyid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Syed ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Syed ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a. dan Sayidatina Fatimah binti Rasulullah saw.
Dinamakan Al-Barjanz y karena dinisbahka n kepada nama desa pengarang yang terletak di Barjanziya h kawasan Akrad (kurdistan ). Kitab tersebut nama aslinya ‘Iqd al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya kalung permata) sebagian ulama menyatakan bahwa nama karanganny a adalah “I’qdul Jawhar fi mawlid anNabiyyil Azhar”. yang disusun untuk meningkatk an kecintaan kepada Nabi Muhammad saw., meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya .
Beliau dilahirkan di Madinah Al Munawwarah pada hari Kamis, awal bulan Zulhijjah tahun 1126 H (1960 M) (1766 beliau menghafal Al-Quran 30 Juz kepada Syaikh Ismail Alyamany dan Tashih Quran (mujawwad) kepada syaikh Yusuf Asho’idy kemudian belajar ilmu naqliyah (quran Dan Haditz) dan ‘Aqliyah kepada ulama-ulam a masjid nabawi Madinah Al Munawwarah dan tokoh-toko h qabilah daerah Barjanzi kemudian belajar ilmu nahwu, sharaf, mantiq, Ma’ani, Badi’, Faraidh, Khat, hisab, fiqih, ushul fiqh, falsafah, ilmu hikmah, ilmu teknik, lughah, ilmu mustalah hadis, tafsir, hadis, ilmu hukum, Sirah Nabawi, ilmu sejarah semua itu dipelajari selama beliau ikut duduk belajar bersama ulama-ulam a masjid nabawi. Dan ketika umurnya mencapai 31 tahun atau bertepatan 1159 H barulah beliau menjadi seorang yang ‘Alim wal ‘Allaamah dan Ulama besar.
Kitab “Mawlid al-Barzanj i” ini telah disyarahka n oleh al-’Allaam ah al-Faqih asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanj i” yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, kitab Mawlid Sidi Ja’far al-Barzanj i ini telah disyarahka n pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahk annya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ar i asy-Syadzi li al-Azhari dengan kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanj i”. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif , bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalanka n Thoriqah asy-Syadzi liyyah. Beliau lahir pada tahun 1217H (1802M) dan wafat pada tahun 1299H (1882M).
Selain itu ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karanganny a, yaitu Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, an-Nawawi ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi “Mawlid al-Barzanj i” dan karanganny a itu dinamakann ya “Madaariju sh Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satun ya anak Sayyid Ja’far al-Barzanj i, telah juga menulis syarah bagi “Mawlid al-Barzanj i” tersebut yang dinamakann ya “al-Kawkab ul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Mawlidin Nabiyil Azhar”.
Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif . Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyya h. Karangan-k arangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahid ul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaa-il Ramadhan”, “Mashaabii hul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhau-il Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritak an perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far al-Barzanj i dalam kitabnya “ar-Raudhu l A’thar fi Manaqib as-Sayyid Ja’far”.
Kembali kepada Sidi Ja’far al-Barzanj i, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan sahaja kerana ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramata n dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdoa untuk hujan pada musim-musi m kemarau. Diceritaka n bahawa satu ketika di musim kemarau, sedang beliau sedang menyampaik an khutbah Jumaatnya, seseorang telah meminta beliau beristisqa ` memohon hujan. Maka dalam khutbahnya itu beliau pun berdoa memohon hujan, dengan serta merta doanya terkabul dan hujan terus turun dengan lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaiman a yang pernah berlaku pada zaman Junjungan Nabi s.a.w. dahulu. Menyaksika n peristiwa tersebut, maka sebahagian ulama pada zaman itu telah memuji beliau dengan bait-bait syair yang berbunyi:-
سقى الفروق بالعباس قدما * و نحن بجعفر غيثا سقينا
فذاك و سيلة لهم و هذا * وسيلتنا إمام العارفينا
Dahulu al-Faruuq dengan al-’Abbas beristisqa ` memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far pula beristisqa ` memohon hujan
Maka yang demikian itu wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini wasilah kami seorang Imam yang ‘aarifin
Sidi Ja’far al-Barzanj i wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi s.a.w. Karanganny a membawa umat ingatkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat kasihkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat rindukan Junjungan Nabi s.a.w. Setiap kali karanganny a dibaca, pasti sholawat dan salam dilantunka n buat Junjungan Nabi s.a.w. Juga umat tidak lupa mendoakan Sayyid Ja’far yang telah berjasa menyebarka n keharuman pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia keturunan Adnan. Allahu … Allah.
اللهم اغفر لناسج هذه البرود المحبرة المولدية
سيدنا جعفر من إلى البرزنج نسبته و منتماه
و حقق له الفوز بقربك و الرجاء و الأمنية
و اجعل مع المقربين مقيله و سكناه
و استرله عيبه و عجزه و حصره و عيه
و كاتبها و قارئها و من اصاخ إليه سمعه و اصغاه
Ya Allah ampunkan pengarang jalinan mawlid indah nyata
Sayyidina Ja’far kepada Barzanj ternisbah dirinya
Kejayaan berdamping denganMu hasilkan baginya
Juga kabul segala harapan dan cita-cita
Jadikanlah dia bersama muqarrabin berkediama n dalam syurga
Tutupkan segala keaiban dan kelemahann ya
Segala kekurangan dan kekeliruan nya
Seumpamany a Ya Allah harap dikurnia juga
Bagi penulis, pembaca serta pendengarn ya
و صلى الله على سيدنا محمد و على اله و صحبه و سلم
و الحمد لله رب العالمين
Dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormat an terhadap Nabi SAW. dalam Islam (1991), sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel, menerangka n bahwa teks asli karangan Ja’far al-Barzanj i, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, semisal hasil terjemahan HAA Dahlan atau Ahmad Najieh, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanj i merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: “Natsar” dan “Nadhom”. Bagian “Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW., mulai dari saat-saat menjelang paduka dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian “Nadhom” terdiri atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukau an sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian “Nadhom”, misalnya, antara lain diungkapka n sapaan kepada Nabi pujaan: Engkau mentari, engkau bulan/ Engkau cahaya di atas cahaya.
Di antara idiom-idio m yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idio m seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawak an dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “untaian mutiara”.
Namun, bahasa puisi yang gemerlapan itu, seringkali juga terasa rapuh. Dalam karya Ja’far al-Barzanj i pun, ada bagian-bag ian deskriptif yang mungkin terlampau meluap. Dalam bagian “Natsar”, misalnya, sebagaiman a yang diterjemah kan oleh HAA Dahlan, kita mendapatka n lukisan demikian: Dan setiap binatang yang hidup milik suku Quraisy memperbinc angkan kehamilan Siti Aminah dengan bahasa Arab yang fasih.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-poko k tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadis, dan sirah nabawiyyah . Sang penyair kemudian mencurahka n kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang mengagumka n sehubungan dengan karya Ja’far al-Barzanj i adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya , karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembang kan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam di berbagai negeri menghormat i sosok dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Sifatnya:
Wajahnya tampan, perilakuny a sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya mancung,je nggotnya yang tebal,Memp unyai akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakku r, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah ,dan sangat pemurah.
Seorang ulama besar yang berdedikas i mengajarka n ilmunya di Masjid Kakeknya (Masjid Nabawi) SAW. sekaligus beliau menjadi seorang mufti Mahzhab Syafiiyah di kota madinah Munawwarah .
“Al-’Allaa mah al-Muhaddi ts al-Musnid as-Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanj i adalah MUFTI ASY-SYAFI` IYYAH di Kota Madinah al-Munawwa rah. Banyak perbedaan tentang tanggal wafatnya, sebagian menyebut beliau meninggal pada tahun 1177 H. Imam az-Zubaidi dalam “al-Mu’jam al-Mukhtas h” menulis bahwa beliau wafat tahun 1184 H, dimana Imam az-Zubaidi pernah berjumpa dengan beliau dan menghadiri majelis pengajiann ya di Masjid Nabawi yang mulia.
Maulid karangan beliau ini adalah kitab maulid yang paling terkenal dan paling tersebar ke pelosok negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur maupun di Barat. Bahkan banyak kalangan ‘Arab dan ‘Ajam (luar Arab) yang menghafaln ya dan mereka membacanya dalam waktu-wakt u tertentu. Kandungann ya merupakan khulaashah (ringkasan ) sirah nabawiyyah yang meliputi kisah lahir baginda, perutusan baginda sebagai rasul, hijrah, akhlak, peperangan sehingga kewafatan baginda.
Wafat:
Beliau telah kembali ke rahmatulla h pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun 1177 H (1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama keluarga Rasulullah saw.
Kitab maulid Barzanji sendiri telah disyarah (dijelaska n) oleh ulama-ulam a besar seperti Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ar i asy-Syadzi li al-Azhari yang mengarang kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al- Barzanji” dan Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi “Madaariju sh Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”.