Rabu, 09 Mei 2012

Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Dalam Bahtsul Masa'il di NU


Munas ke-4: Masail Diniyah
Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Dalam Bahtsul Masa'il di NU

MASAIL DINIYAH KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ALIM ULAMA NU
Bandar Lampung, 16-20 Rajab 1412 H/ 21-25 Januari 1992 M.
A. Ketentuan Umum

  1. Yang dimaksud dengan kitab adalah al-kutubul mu’tabarah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah ahlussunnah wal Jama’ah (rumusan Muktamar NU ke-27).
  2. Yang dimaksud dengan bermadzhab secara qauli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup madzhab tertentu.
  3. Yang dimaksud dengan bermadzhab secara manhaji adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan fikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab.
  4. Yang dimaksud dengan istinbath adalah mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah.
  5. Yang dimaksud dengan qauli adalah pendapat imam madzhab.
  6. Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama madzhab.
  7. Yang dimaksud dengan taqrir jama’i adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa qaul/wajah.
  8. Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaqul-masa’il bi nadha’iriha) adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”).
  9. Yang dimaksud dengan usulan masalah adalah permintaan untuk membahas suatu kasus/masalah, baik hanya berupa “judul” masalah maupun telah disertai pokok-pokok pikiran atau pula hasil pembahasan awal dengan maksud dimintakan tanggapan.
  10. Yang dimaksud dengan pengesahan adalah pengesahan hasil suatu bahtsul masa’il oleh PB Syuriah NU, Munas Alim Ulama NU atau Muktamar NU.
Sistem Pengambilan Keputusan Hukum
1) Prosedur Penjawaban Masalah
Keputusan bathsul masa’il di lingkungan NU dibuat dalam kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sbb:

  1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ‘ibarat tersebut.
  2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukpi oleh ‘iabarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih satu qaul/wajah.
  3. Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakuan prosedur ihlaqul masa’il binadhairiha secara jama’i oleh para ahlinya.
  4. Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbath, jama’i dengan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya.
2) Hirarki dan Sifat Keputusan Bahtsul Masa’il

  1. Seluruh keputusan bathsul masa’il di lingkungan NU yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.
  2. Suatu hasil keputusan bathsul masa’il dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu Munas Ulama maupun Muktamar.
  3. Sifat keputusan dalam bathsul masa’il tingkat Munas dan Muktamar adalah:
    (a) Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan/atau,
    (b) Diperuntukan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.
3) Kerangka Analisis Masalah
Terutama dalam memecahkan masalah sosial, bathsul masa’il hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah (yang sekaligus tercermin dalam hasil keputusan) antara lain sbb:

  1. Analisis masalah. Sebab mengapa terjadi kasus ditinjau dari berbagai faktor:
    (a) Faktor ekonomi
    (b) Budaya
    (c) Politik
    (d) Sosial dan lainnya
  2. Analisis Dampak. Dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh sesuatu kasus yang hendak dicari hukumnya ditinjau dari berbagai aspek, antara lain:
    (a) Secara sosial-ekonomi
    (b) Sosial-budaya
    (c) Sosial-politik
    (d) Dll.
  3. Analisis Hukum. Fatwa tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang. Di samping putusan fiqih/yuridis formal, keputusan ini juga memperhatikan pertimbangan Islam dan hukum positif.
    (a) Status hukum (al-ahkam al-khamsah/sah-batal)
    (b) Dasar dari ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah
    (c) Hukum positif
  4. Analisis Tindakan, Peran dan Pengawasan. Apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa di atas. Kemudian siapa saja yang akan melakukan, bagaimana, kapan dan dimana hal itu hendak dilakukan, serta bagaimana mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan rencana.
    (a) Jalur politik (berusaha pada jalur kewenangan negara dengan sasaran mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.
    (b) Jalur budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat melalui berbagai media massa dan forum seperti pengajian dll).
    (c) Jalur ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat).
    (d) Jalur sosial lainnya (upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan dst).
B. Petunjuk Pelaksanaan
1) Prosedur Pemilihan Qaul/Wajah

  1. Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat.
  2. Pemilihan salah satu pendapat dilakukan:
    (a) Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/atau yang lebih kuat.
    (b) Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar NU ke-1 bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:

  1.  
    1. Pendapat yang disepakati oleh Asy-Syaikhan (an-Nawawi dan Rafi’I)
    2. Pendapat yang dipegangi oleh an-Nawawi saja
    3. Pendapat yang dipegangi oleh ar-Rafi’i saja.
    4. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
    5. Pendapat ulama yang terpandai
    6. Pendapat ulama yang paling wara’.

2) Prosedur Ilhaq
Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqul masa’i bi nadha’iriha secara jama’i. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilaih dan wajhul-ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
3) Prosedur Istinbath
Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya mulhaq bih dan wajhul-ilhaq sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan istinbath secara jama’i, yaitu dengan mempraktekkan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyah oleh para ahlinya. Oleh Siroj Munir di Fiqh Kontemporer ·

0 komentar:

Posting Komentar

 

jancok © 2008. Design By: SkinCorner